Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Apa Penyebab BI Terus Pangkas Suku Bunga Acuan?

Bisnis.com mencatat, sejak Juli 2019, Bank Indonesia konsisten mengambil langkah menurunkan suku bunga acuan, masing-masing 25 basis poin (bps). Alhasil dari yang Juni-Juli 2019 tercatat 6,0%, posisi Oktober 2019 BI7DRR tercatat 5,0% atau turun total 100 bps.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan penjelasan pada jumpa pers mengenai hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia di Jakarta, Kamis (21/3/2019). Bank Indonesia memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI 7DRR) sebesar 6,00 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen. Bisnis/Nurul Hidayat
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan penjelasan pada jumpa pers mengenai hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia di Jakarta, Kamis (21/3/2019). Bank Indonesia memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI 7DRR) sebesar 6,00 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen. Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA – Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada Oktober 2019 kembali memangkas suku bunga acuan atau BI 7 Days Repo Rate (BI7DRR) menjadi 5,0% setelah sebelumnya 5,25%.

Bisnis.com mencatat, sejak Juli 2019, Bank Indonesia konsisten mengambil langkah menurunkan suku bunga acuan, masing-masing 25 basis poin (bps). Alhasil dari yang Juni-Juli 2019 tercatat 6,0%, posisi Oktober 2019 BI7DRR tercatat 5,0% atau turun total 100 bps.

Selain menurunkan BI7DRR, pada Juni 2019 Bank Indonesia juga memangkas Giro Wajib Minimum (GWM), dari 6,5% menjadi 6,0%. Lalu pada September 2019 Bank Indonesia memberi relaksasi dan stimulus melalui kebijakan makroprudensial.

Adapun kebijakan makroprudensial yang diputuskan Bank Indonesia pada bulan sebelumnya adalah pengaturan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) atau RIM Syariah disempurnakan dengan menambahkan komponen pinjaman atau pembiayaan yang diterima bank, sebagai komponen sumber pendanaan bank dalam perhitungan RIM/RIM Syariah.

Bank Indonesia juga melakukan pelonggaran yakni; Rasio Loan to Value atau Financing to Value (LTV/FTV) untuk kredit atau pembiayaan properti sebesar 5%, Uang Muka untuk Kendaraan Bermotor pada kisaran 5 sampai 10%, serta Tambahan keringanan rasio LTV/FTV untuk kredit atau pembiayaan properti dan Uang Muka untuk Kendaraan Bermotor yang berwawasan lingkungan masing-masing sebesar 5%. Adapun ketentuan tersebut berlaku efektif sejak 2 Desember 2019.

Jika berkaca dari bauran kebijakan tersebut, sayangnya pertumbuhan kredit menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih mengalami perlambatan dari 9,58% (yoy) pada Juli 2019 menjadi 8,59% (yoy) pada Agustus 2019. Selain itu, Dana Pihak Ketiga (DPK), pada Agustus 2019 sebesar 7,62% (yoy) menurun dibandingkan dengan pertumbuhan Juli 2019 sebesar 8,04% (yoy).

Menanggapi hal itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo tak menampik adanya perlambatan pertumbuhan kredit, salah satunya pertumbuhan kredit ritel. Dia memprakirakan, bahwa banyak faktor yang menyebabkan pertumbuhan kredit tak signifikan pada kuartal III/2019 ini. Salah satunya masih adanya kecenderungan investor wait and see, seiring dengan momentum pascapemilu.

Hal itu, kata Perry, diperkuat dari data Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) kuartal III/2019 yang menyebut Saldo Bersih Tertimbang (SBT) kuartal ini tercatat sebesar 13,39%, lebih rendah dari 19,17% pada kuartal sebelumnya. Namun masih dari survei yang sama, Perry menyebut optimisme pelaku usaha dan konsumen akan membaik dalam 6 bulan ke depan, terhitung sampai Februari 2019.

“Dalam SKDU, ke depan dan berbagai indikator tadi menunjukkan, dan mengonfirmasi kegiatan ekonomi yang tumbuhnya tidak kuat sampai kuartal III, tetapi survei itu juga menunjukkan ekspektasi kegaian ekonomi kuartal IV ke depan akan membaik,” kata Perry di Kantor Bank Indonesia, Kamis (24/10/2019).

Perry menambahkan, dari berbagai survei lain juga menunjukkan kegiatan investasi oleh sejumlah korporasi akan meningkat mulai kuartal IV. Sepanjang tahun ini, sisi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih banyak ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan konsumsi dari Konsumsi Lembaga Nonprofit yang melayani Rumah Tangga (PK-LNPRT) yang melayani kepentingan pemilu. Alhasil banyak pelaku usaha yang memang memilih menahan ekspansi.

“Karena korporasi ada pembiayaan yang mereka belum realisasikan karena menunggu hasil pemilu sampai pemilihan presiden dan pembentukan kabinet,” ungkapnya.

Perry menilai, dengan selesainya berbagai hal tersebut, dia mengharapkan dunia usaha mulai merealisasikan rencana investasi sehingga ekonomi akan tumbuh lebih baik dimulai dengan geliat kredit yang menguat ke sektor riil. Apalagi, dengan kehadiran pemerintahan yang baru, daya beli masyarakat bisa meningkat, termasuk daya beli masyarakat menengah ke bawah yang mengandalkan bantuan sosial.

“Yang perlu saya tegaskan di sini sementara pembiayaan ekonomi dari pembiayaan perbankan yang tumbuh pesat, pembiayaan dari pasar modal tumbuh cukup baik,” ungkapnya.

Perry menjelaskan bahwa pertumbuhan kredit tak semata menjadi tanda bahwa dunia usaha tidak melakukan pembiayaan dan melakukan investasi riil.

Dia menilai banyak pelaku usaha beralih ke pembiayaan pasar modal, sebagai contoh pada September 2019, pertumbuhan efek beragun aset (EBA), sukuk, dan obligasi tumbuh 28,1% (yoy). Demikian juga penerbitan medium term note, pada pada September tumbuh 17,3% (yoy).

“Ini pembiayaan non kredit perbankan yang menunjukan korporasi-korporasi melakukan pembiayaan juga banyak dari pasar modal,” pungkasnya.

Namun pada sisi lain, Perry pun tak menampik bahwa pembiayan dari pasar modal tak sepenuhnya bisa diandalkan menilai IPO dan rights issue belum kuat akibat masih ada gejolak pasar saham global, sehingga hanya tumbuh 6,51% (yoy). Oleh sebab itu, relaksasi kebijakan akomodatif dari BI penting dilakukan untuk mendoorng pertumbuhan ekonomi.

PELUANG MAKROPRUDENSIAL

Perry mengakui ke depannya, BI masih akan melakukan assessment untuk pengambilan kebijakan. Dia memberi sinyal, BI mungkin akan melakukan pemantauan lebih lanjut dampak atas semua stimulus tersebut. Maklum saja, BI telah melakukan empat kali pemangkasan suku bunga acuan, dan penerapan RIM dan insentif yang baru berlaku pada Desember mendatang.

“Kami akan melihat kembali bagaimana efektivitas transmisi kebijakan yang sudah ada, termasuk yang itu tadi,” tutur Perry.

Saat ini, sampai September 2019 turun baru 26 basis poin. Selain suku bunga deposito, suku bunga kredit juga tercatat baru turun 8 basis poin. Angka ini jelas masih kurang jika dibandingkan dari relakasi BI yang mencapai 100 basis poin dalam 4 bulan terakhir.

Dia mengaku bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK), masih akan mengkaji peluang melonggarkan kebijakan makroprudensial pada masa yang akan datang untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

“Kami bersama ingin memastikan supaya suku bunga yang turun 100 basis poin segera diikuti dengan penurunan suku bunga deposito dan kredit,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper