Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dikritisi Anggota DPR, Skema Bantuan Likuiditas via Lewat Bank Jangkar Dinilai Belum Jelas

Mekanisme program skema bantuan likuiditas kepada perbankan yang melakukan relaksasi kredit seperti tertuang dalam PP No 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional lewat bank jangkar dinilai masih belum jelas.
Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso memberikan kata sambutan pada Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2019 dan Arahan Presiden RI di Jakarta, Jumat (11/1/2019). Bisnis/Nurul Hidayat
Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso memberikan kata sambutan pada Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2019 dan Arahan Presiden RI di Jakarta, Jumat (11/1/2019). Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA – Mekanisme program skema bantuan likuiditas kepada perbankan yang melakukan relaksasi kredit seperti tertuang dalam PP No 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional lewat bank jangkar dinilai masih belum jelas.

Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin dalam keterangan tertulis, Sabtu (16/5/2020), menilai harmonisasi berbagai skema bantuan likuiditas bagi perbankan itu perlu diperjelas oleh pemerintah untuk memastikan pelaksanaan yang optimal dan tepat sasaran.

Merujuk Pasal 11 Perppu No 1/2020, pemerintah berwenang untuk menempatkan dana langsung melalui lembaga keuangan, manajer investasi, atau lembaga lain yang ditunjuk. Kemudian sebagai ketentuan lanjutan, Pasal 10 PP No 23/2020 memungkinkan pemerintah untuk menempatkan dana kepada bank peserta sebagai dana penyangga likuiditas bank pelaksana yang memberikan restrukturisasi kredit kepada UMKM terdampak Covid19.

Berdasarkan PP itu, bank peserta akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Dana penyangga likuiditas tersebut kemudian disalurkan kepada bank pelaksana oleh bank peserta, berdasarkan hubungan kontraktual business to business.

Menanggapi ketentuan tersebut, Puteri menyoroti kaitan skema penempatan dana ini dengan skema dukungan likuiditas lain yang juga diatur dalam Perppu No. 1/2020, seperti pinjaman likuiditas jangka pendek (PLJP) bagi bank sistemik dan bank nonsistemik, serta pinjaman likuiditas khusus (PLK) bagi bank sistemik.

Selain itu, ujar dia, PP itu juga masih belum cukup menjelaskan beberapa hal krusial terkait pelaksanaan teknisnya. Secara khusus, PP ini memang menyebutkan bahwa tata cara penempatan dana pemerintah akan diatur lebih lanjut dalam peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang saat ini belum diterbitkan.

“Masih banyak hal-hal teknis yang perlu diatur lebih lanjut. Misalnya, batasan kewenangan dan tanggung jawab bank peserta maupun pemerintah dalam menyalurkan dana penyangga likuiditas, serta ketentuan penilaian risiko oleh bank peserta dalam menyediakan dukungan likuiditas kepada bank pelaksana,” kata dia.

Selain itu, ada hal yang menurut Putri juga harus diatur secara jelas untuk mengantisipasi risiko di kemudian hari. “Pelibatan BPK dan BPKP menjadi hal yang sangat penting mengingat penyaluran dana dilakukan berdasarkan hubungan kontraktual,” papar Puteri.

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memaparkan skema penyangga bagi bank jika mengalami kesulitan likuiditas setelah melakukan restrukturisasi kredit bagi debitur terdampak Covid-19.

“Ini penyangga kami sediakan apabila ada bank yang membutuhkan, kalau tidak ada, Alhamdulilah,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso.

Menurut dia, pemerintah akan menempatkan sejumlah dana di bank peserta atau bank yang masuk kategori 15 bank besar dan sehat sesuai diatur dalam PP Nomor 23/2020.

Pemerintah berencana akan menerbitkan surat utang yang akan dibeli Bank Indonesia dan hasil penjualannya akan ditempatkan di bank peserta sebagai bagian penyangga likuiditas bagi perbankan yang membutuhkan

Nantinya, melalui bank peserta akan memberikan pinjaman kepada bank yang membutuhkan dukungan likuiditas atau disebut juga bank pelaksana yakni bank yang melaksanakan restrukturisasi kredit.

Adapun mekanismenya, kata dia, kredit yang direstrukturisasi bank pelaksana itu dijadikan sebagai agunan kepada bank peserta.

Sebelumnya, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani kurang sependapat jika bank Himbara menjadi bank penyangga likuiditas bagi bank-bank yang likuiditasnya seret.

Menurut dia, kebijakan itu akan mempengaruhi saham bank-bank BUMN, karena dalam hal ini dikhawatirkan para pemegang saham minoritas memiliki pandangan negatif soal kebijakan tersebut.

Di sisi lain, lanjut Aviliani, dengan ditunjuknya bank Himbara sebagai bank penyangga likuiditas, tentu akan menimbulkan konflik kepentingan antara bank penyangga likuiditas dengan penerima likuiditas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Newswire
Editor : Ropesta Sitorus
Sumber : Antara
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper