Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini 3 Risiko Perbankan Akibat Pandemi Covid-19

Kondisi pandemi Covid-19 ini membuat perbankan menghadapi tiga risiko besar yakni kredit macet, risiko pasar, dan risiko likuiditas.
Webinar LPS, BCA, dan Bisnis Indonesia, Rabu (10/6/2020)
Webinar LPS, BCA, dan Bisnis Indonesia, Rabu (10/6/2020)

Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah menyebutkan ada tiga risiko yang dihadapi perbankan akibat penyebaran pandemi Covid-19.  

“Kondisi ini membuat perbankan menghadapi tiga risiko besar yakni kredit macet, risiko pasar, dan risiko likuiditas,” kata Halim dalam acara Live Webinar Perbankan bersama LPS dan Bank Central Asia (BCA) yang digelar Bisnis, Rabu (10/6/2020).

Dia menjelaskan, Covid-19 mengakibatkan gangguan di sisi permintaan dan supply. Maraknya jumlah PHK, turunnya pendapatan membuat konsumsi jadi menurun. Begitu juga di sisi pasokan, penghentian aktivitas bisnis, gangguan pada supply chain dan kerugian karena penurunan penjualan membuat perusahaan mau tak mau melakukan efisiensi.

Di sisi lain, sentimen investor juga terpengaruh baik di pasar ekuisitas, pasar obligasi dan pasar valuta. Kepercayaan deposan pun jadi ikut terganggu.

Kepanikan yang terjadi di banyak negara pada masa awal pandemi membuat banyak pemilik dana yang menarik dananya dan menyimpan di aset yang lebih aman.

Alhasil, perbankan menghadapi risiko kredit macet. Risiko pasar juga membuat perbankan perlu melakukan pencadangan yang akan memberatkan neracanya, membuat profitabilitas lebih rendah, serta terganggunya permodalan. Selain itu masih ada risiko likuiditas akibat naiknya biaya dana.

Lebih lanjut, Halim mengatakan pemerintah bersama OJK dan LPS mengambil bauran kebijakan untuk memitigasi potensi gangguan Covid-19 ke sektor keuangan.

“OJK mengambil langkah bagaimana mengurangi risiko kredit, bagaimana agar beban tidak terlalu berat. BI juga banyak melakukan langkah menanggulangi risiko likuiditas.”

Dia menyinggung beberapa langkah kebijakan yang diambil Bank Indonesia, baik moneter maupun makroprudensial, mulai dari penurunan suku bunga acuan dalam beberapa tahap menjadi saat ini 4,25%, stabilisasi nilai tukar rupiah, pasar uang dan valas, pelonggaran likuiditas lewat relaksasi GWM, serta kebijakan di sistem pembayaran.

BI melakukan kebijakan quantative easing (QE) melalui pembelian surat berharga negara dari pasar sekunder, term repo perbankan, serta melalui penurunan GWM rupiah.

“BI menambah lagi quantitative easing dengan injeksi likuiditas ke perbankan dalam jumlah bersa sehingga secara total mencapai sekitar Rp503,8 triliun.”

Adapun untuk otoritas jasa keuangan melakukan pengaturan dan pengawasan perbankan, pasar keuangan dan IKNB. OJK juga menjaga fundamental usaha sektor riil, dan menjaga stabilitas pasar keuangan antara lain lewat pelarangan short selling, asymmetric auto rejection, peniadaan perdagangan di sesi pre-opening, buyback saham tanpa melalui RUPS.

Sementara itu, LPS juga membuat sejumlah kebijakan antara lain dengan menurunkan tingkat bunga penjaminan (TBP) selama tiga kali dengan total kumulatif 75 bps untuk rupiah serta 25 bps untuk valas. Saat ini TBP untuk bank umum rupiah dan valas sebesar 5,5,% dan 1,5%  serta TBP untuk BPR 8%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper