Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Layanan Urun Dana Alias Equity Crowd Funding, Jamu Kuat UMKM?

Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada 2018 lalu menyatakan UMKM mampu menyerap 96,8 persen tenaga kerja nasional, sedangkan usaha besar hanya menyerap sisanya sebanyak 3,2 persen.
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Ada 60 juta UMKM di Indonesia yang saat ini berperan besar terhadap ekonomi nasional. Tapi ada kendala klasik yang kerap menjadi dinding penghalang sektor usaha ini berkembang yakni sulitnya mengakses permodalan.

Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada 2018 lalu menyatakan UMKM mampu menyerap 96,8 persen tenaga kerja nasional, sedangkan usaha besar hanya menyerap sisanya sebanyak 3,2 persen.

Selain itu kontribusi UMKM terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) nasional menyentuh angka 61 persen dan sisanya 39 persen adalah dari usaha besar. Sementara di sisi pembiayaan, menurut Statistik Perbankan Indonesia 2019, UMKM hanya mendapatkan 19 persen dari total porsi pembiayaan perbankan kepada pihak ketiga.

Menurut OJK, penyebab rendahnya pembiayaan ini lantaran sebagian besar usaha UMKM belum bankable atau belum layak mendapatkan kredit perbankan. Sehingga, ada ruang kosong hingga suatu usaha UMKM berkembang dan bisa mendapatkan pembiayaan, baik kredit usaha rakyat (KUR) ataupun kredit small medium enterprise (SME) di perbankan.

Saat ini ada satu jenis pembiayaan untuk sektor UMKM yang belum bankable ini, yaitu dana tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang juga dikenal dengan nama lain, program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL) di kalangan perusahaan pelat merah. Namun, karena jenis pembiayaan ini terbatas, tidak semua UMKM mendapatkan kesempatan mengalami peningkatan usaha dengan dukungan CSR atau PKBL.

Direktur Pasar Modal Syariah OJK Fadilah Kartikasari menjelaskan, kondisi ini membuat OJK mengeluarkan beleid POJK 37/2018 tentang Layanan Urun Dana melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi atau Equity Crowd Funding (ECF) pada Desember 2018 lalu.

Platform fintech ECF sudah berkembang seiring dengan hadirnya layanan peer to peer lending (P2P) dalam lima tahun terakhir. Namun saat ini, menurut data OJK, baru ada tiga platform fintech ECF yang telah mengantongi izin resmi yaitu Santara, Bizhare, dan Crowd Dana.

"Konsep ECF ini ada beberapa kriteria yang ditetapkan dalam POJK 37 di antaranya penerbitan saham maksimal senilai Rp10 miliar untuk jangka 1 tahun, dan Rp30 miliar untuk jangka 3 tahun secara akumulasi," ujarnya baru-baru ini.

Selain itu juga jumlah investor dibatasi otoritas yakni maksimal hanya sebanyak 300 pihak atau orang. OJK juga menetapkan kriteria bagi para investor ini seperti penghasilan sampai Rp500 juta hanya dapat membeli maksimal 5 persen dari penghasilan tahunannya, dan penghasilan lebih dari Rp500 juta dapat membeli maksimal 10 persen dari penghasilan tahunannya. Sementara untuk badan hukum dan pihak yang berpengalaman di investasi tidak dibatasi pembeliannya.

Di sisi penerbit atau usaha yang akan diberikan pembiayaan, OJK menetapkan usaha tersebut bukan dimiliki konglomerasi atau kelompok usaha, bukan perusahaan terbuka atau anak usaha perusahaan terbuka, kekayaan tidak melebihi Rp10 miliar di luar tanah dan bangunan.

Fintech ECF diyakini menjadi jembatan perkembangan bisnis UMKM untuk naik kelas, dan menambah jumlah emiten di saham syariah nasional.

Praktisi pasar modal dan founder Jouska Aakar Abyasa menilai memang ada celah soal pembiayaan UMKM ini yang belum mampu mengakses permodalan. Menurutnya platform fintech ECF bukan hanya solusi tapi menjadi urgensi agar UMKM dapat berkembang sambil tetap sesuai aturan yang berlaku di Indonesia.

"Adanya regulasi ECF dari OJK ini perlu supaya gak jadi shadow-nya pasar modal dan tentu dibuat regulasi yang berbeda standarnya antara bursa efek dengan ECF," ujarnya.

Saat ini dia menilai UMKM Indonesia semakin diminati oleh pemilik modal asing seperti dari private equity and venture capital (PE VC) asal negara tetangga Singapura. Kondisi ini karena usaha mikro kecil tersebut berjualan di toko online, dan data penjualannya dapat diakses para pemilik modal yang memang sudah memberikan pendanaan ke platform toko tersebut.

Sebelumnya, memang pemilik modal besar ini lebih suka berinvestasi di perusahaan teknologi informasi. Tapi karena perkembangan yang cepat di industri digital, pemodal kini mulai melirik UMKM lokal yang punya potensi untuk bertumbuh dengan baik karena memang untung meski di tengah masa pandemi.

"Jadi kalau semua pemodal luar mau masuk ke UMKM yang bagus-bagus ini, kita gak punya lagi usaha yang akan kita invest. Dulu ada istilahnya pitching, UMKM itu datang menawarkan tapi sekarang sudah berbeda, UMKM ini didatangi," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, salah satu platform ECF berizin, Santara menyatakan layanan urun dana sudah mulai dijalankan untuk mengembangkan bisnis dari daerah Yogyakarta. CEO Santara Reza Avesena menjelaskan tujuan berdirinya perseroan ditujukan untuk mengembangkan UMKM yang memang belum bankable.

"Misalnya Sop Ayam Pak Min karena saya setiap hari suka makan sop dan ingin agar usahanya berkembang, akhirnya kami urun dana dan menjual saham itu, yang beli [sahamnya] ya pelanggannya juga," ujarnya.

Sejak mengantongi izin operasional dari OJK pada September 2019, perseroan terus mengalami pertumbuhan positif dalam menjaring investor baru, misalnya dari sebanyak 20.000 investor, kini sudah berada di angka 180.000 investor. Pertumbuhan positif ini tidak didapat perseroan dengan mudah. Karena pada 2018 lalu, website resminya sempat diblokir oleh Kemenkominfo, karena terindikasi menawarkan investasi bodong.

Setelah dicari tahu, penyebabnya adalah adanya kata-kata 'platform bursa efek UMKM' atau kata 'bursa'. Saat itu itu OJK memiliki aturan spesifik yang mengatur tentang transaksi di pasar modal dan POJK 37/2018 masih belum rampung dibahas dan masih dalam bentuk rancangan peraturan.

Akhirnya Santara mencoba untuk mengikuti regulasi terkait, dan hampir setahun tidak dapat beroperasi sampai akhirnya mendapat izin resmi pada September 2019.

Selain Santara, ada juga platform ECF lainnya yaitu Bizhare yang fokus dalam urun dana bisnis waralaba. Heinrich Vincent, CEO Bizhare, mengaku saat ini bisnis perseroan tetap tumbuh positif meskipun ada pandemi Covid-19. Pertumbuhan ini, menurutnya, dirasakan oleh berbagai sektor investasi dan perusahaan penerbit yang bergerak di industri yang sangat dibutuhkan masyarakat, seperti kesehatan, kebutuhan pokok dan ritel minimarket.

"Bahkan meningkat hingga lebih dari 100 persen dari sejak awal tahun dan waktu pendanaan hanya di bawah 1 menit atau dalam hitungan detik sudah terpenuhi," ujarnya.

Dia menilai situasi pandemi Covid-19 mempengaruhi berbagai industri di seluruh dunia, termasuk bisnis UMKM Tanah Air. Untuk itu dibutuhkan percepatan adaptasi dari pelaku UMKM yang dibantu melalui digitalisasi bersama berbagai partner strategis perseroan, supaya bisa terus menggulirkan pergerakan ekonomi Indonesia dan dibantu ekspansinya melalui platform Bizhare.

Dengan berbagai upaya ini diharapkan ruang kosong yang menjadi dinding penghalang berkembangnya UMKM di Tanah Air selama ini dapat sirna, berkat hadirnya platform ECF di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Arif Gunawan
Editor : Ropesta Sitorus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper