Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Titip Dana ke BPD, Ekonom: Risiko Besar dan Bahayakan Bank!

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan penempatan dana di bank daerah bukan langkah yang tepat. Pasalnya, penempatan dana tersebut terlalu berisiko jika tujuannya untuk memacu penyaluran kredit di tengah pandemi Covid-19.
Ilustrasi - Warga menggunakan fasilitas ATM Bank DKI di Jakarta, Senin (8/6/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Ilustrasi - Warga menggunakan fasilitas ATM Bank DKI di Jakarta, Senin (8/6/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA -- Penempatan uang negara tahap dua di bank pembangunan daerah (BPD) dinilai tidak tepat sasaran dan target-target yang ditetapkan akan lebih sulit terealisasi.

Seperti diketahui, pada Senin (2/7/2020), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan penempatan dana dilakukan pada tujuh BPD yakni Bank DKI adalah sebesar Rp2 triliun, Bank BJB Rp2,5 triliun, Bank Jateng Rp2 triliun, Bank Jatim Rp2 triliun, dan Bank Sulutgo Rp1 triliun.

Adapun, dua BPD lainnya masih sedang dievaluasi untuk penempatan dana tersebut, yaitu BPD Bali dan BPD DIY dengan alokasi masing-masing Rp1 triliun. Sehingga, total anggaran untuk ke tujuh BPD tersebut adalah sebesar Rp11,5 triliun.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan penempatan dana di bank daerah bukan langkah yang tepat. Pasalnya, penempatan dana tersebut terlalu berisiko jika tujuannya untuk memacu penyaluran kredit di tengah pandemi Covid-19.

Di tengah pandemi Covid-19, permintaan kredit sangat terbatas. Permintaan kredit yang ada saat ini bukan merupakan kredit produktif karena tidak bertujuan untuk melakukan investasi maupun peningkatan produksi.

Menurutnya, permintaan kredit saat ini, besar kemungkinan digunakan untuk memperbaiki likuiditas perusahaan yang mengering karena pandemi. Kredit seperti ini pun berisiko macet.

"Risikonya besar dan membahayakan perbankan. Di tengah wabah saat ini risiko kegagalan kredit akan tinggi, memang kita harus mengambil kebijakan kontra siklus tapi risikonya harus terukur," katanya kepada Bisnis, Senin (27/7/2020).

Sementara itu, di sisi lain penempatan dana pemerintah di sebuah BPD tertentu bisa menjadi pertanyaan. Terlebih, apabila di kemudian hari bank tersebut memiliki permasalahan.

Menurutnya, tidak menutup kemungkinan, penempatan dana bisa dimanfaatkan untuk menutup permasalahan secara jangka pendek. Hal ini bisa mengakibatkan tujuan utama penempatan dana pemerintah untuk memacu penyaluran kredit di tengah wabah bisa tidak tercapai.

"Dana pemerintah di BPD bisa tidak tepat sasaran, tidak sesuai tujuan," katanya.

Senada, Senior Faculty LPPI Moch Amin Nurdin mengatakan komposisi penyaluran kredit di BPD masih didominasi kredit konsumtif. Hal ini bertolak belakang dengan tujuan pemerintah untuk menempatkan dana di BPD agar mendorong penyaluran kredit produktif.

Menurutnya, untuk membuka peluang memasarkan produk kredit produktif, BPD memerlukan sedikit penyesuaian dalam proses analisis kredit. Pasalnya, belum semua staf pemasaran kredit di BPD yang siap dalam melakukan analisis kredit.

Amin meyakini hanya BPD seperti Bank Jateng yang telah menyalurkan kredit sebesar 20% ke sektor produktif dan ke segmen UMKM yang akan bisa berhasil dalam tugas tersebut.

"Rata-rata di BPD kredit produktif agak batuk-batuk dan sebagian mungkin sudah ikut restrukturisasi, jadi kurang optimal," katanya.

Menurutnya, likuiditas ke tujuh BPD juga masih bagus tanpa disuntik dana penempatan dari pemrintah. Bahkan, penempatan uang negara tersebut bisa menimbulkan kecenderungan over liquid.

"Kalau mereka tidak siap untuk pemanfaatan kelebihan likuiditas ini, maka akan menjadi idle fund yang sia-sia," katanya.

Lebih lanjut, Amin menilai BPD perlu memastikan bahwa dana pemerintah itu digunakan secara optimal. Pasalnya, rata-rata BPD tersebut sudah baik secara likuiditas sehingga tidak membutuhkan dana segar.

BPD juga perlu memastikan risiko yang akan muncul dari penyaluran kredit atas penempatan dana pemerintah ini. Antisipasi dengan proses kredit yang lebih ketat dan seleksi customer menjadi hal yang perlu dilakukan.

"Karena masih ada dampak pandemi dan kekhawatiran saya untuk modal penambahan proses restrukturisasi yang malah akan menimbulkan moral hazard, makanya harus diantisipasi dengan baik," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper