Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dua Sisi Penerapan Kelas Standar BPJS: Kualitas Meningkat, Pendapatan Iuran Turun

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai bahwa penerapan kelas standar dan kebutuhan dasar kesehatan (KDK) merupakan amanat dari Undang-Undang 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), tetapi belum terlaksana saat BPJS terbentuk.
Petugas melayani peserta BPJS,  di Kantor BPJS Kesehatan, Proklamasi, Jakarta, Selasa (8/9/2020). Sebanyak lebih dari 40 ribu orang telah memanfaatkan fasilitas kelonggaran tunggakan iuran kepesertaan dan hanya diwajibkan membayar 6 bulan iuran untuk kembali mengaktifkan kepesertaan dari yang sebelumnya diwajibkan membayarkan 24 bulan. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Petugas melayani peserta BPJS, di Kantor BPJS Kesehatan, Proklamasi, Jakarta, Selasa (8/9/2020). Sebanyak lebih dari 40 ribu orang telah memanfaatkan fasilitas kelonggaran tunggakan iuran kepesertaan dan hanya diwajibkan membayar 6 bulan iuran untuk kembali mengaktifkan kepesertaan dari yang sebelumnya diwajibkan membayarkan 24 bulan. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Bisnis.com, JAKARTA — Pelaksanaan rawat inap kelas standar dalam pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan dinilai memiliki dua pengaruh besar, yakni peningkatan kualitas jaminan sosial dan risiko penurunan perolehan iuran.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai bahwa penerapan kelas standar dan kebutuhan dasar kesehatan (KDK) merupakan amanat dari Undang-Undang 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), tetapi belum terlaksana saat BPJS terbentuk.

Amanat itu pun kembali tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) 64/2020 tentang Jaminan Kesehatan, di mana pemerintah harus menyusun regulasi mengenai kelas standar pada akhir 2020. Alhasil, wacana penerapan kelas standar pun kembali mencuat dan segera diujicobakan pada 2021.

Timboel menjabarkan bahwa dalam konsep kelas standar, hanya akan terdapat dua kelas kepesertaan di program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yakni Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan non-PBI. Segmen peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau mandiri akan tergolong sebagai non-PBI.

Adanya dua kelas itu dinilai akan membuat perhitungan iuran menjadi lebih sederhana, karena paket tarif Indonesia Case Based Groups (INA-CBG's) pun menjadi lebih sedikit. Menurut Timboel, hal tersebut akan berpengaruh terhadap pertimbangan pemerintah dalam meninjau besaran iuran peserta BPJS Kesehatan.

"Peninjauan besaran iuran memang harus dilakukan dua tahun sekali, tetapi karena paket INA-CBG's itu banyak jadi sulit untuk menguji kenaikan iurannya. Kelas standar ini akan mendorong ke sisi penyesuaian iuran dan INA-CBG's," ujar Timboel kepada Bisnis, Senin (21/9/2020).

Selain itu, berlakunya kelas standar pun menjadi pintu masuk bagi perluasan sinergi manfaat BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta, yang dikenal sebagai coordination of benefit (CoB). Berlakunya kelas standar akan memudahkan proses CoB tersebut.

Timboel menjelaskan bahwa saat kelas standar berlaku, seluruh peserta akan memperoleh manfaat dengan batasan yang sama. Peserta yang menginginkan manfaat lebih pun dapat menggabungkannya dengan asuransi lain yang dimiliki atau menambah biaya perawatannya sendiri.

Hingga saat ini belum terdapat kejelasan berapa besaran iuran dari kelas standar JKN tersebut yang akan memengaruhi cakupan manfaatnya. Namun, Timboel berasumsi bahwa besaran iuran itu akan berada di atas iuran Kelas III, yakni Rp42.000 dan berada di bawah Kelas II yang saat ini senilai Rp100.000.

"Hitungannya harus dikaji oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional [DJSN], berapa angkanya harus dikaitkan dengan INA-CBG's. Kalau ditanya berapa kami juga belum tahu, tapi yang pasti enggak mungkin semua di angka Rp150.000 [iuran Kelas I] dan Rp42.000, kemungkinannya iuran Kelas III akan naik," ujar Timboel.

Dia menilai bahwa jika pemerintah menerapkan iuran standar senilai Rp42.000, akan terdapat kendala finansial karena menurunnya pendapatan iuran dari peserta Kelas II dan I saat ini. Namun, jika besaran iurannya di atas Rp42.000, terdapat risiko penolakan dari 21 juta peserta Kelas III.

Selain iuran peserta mandiri, kebijakan kelas standar pun berlaku bagi peserta PPU. Meskipun pekerja segmen tersebut membayarkan iuran sesuai persentase upahnya, tetapi saat ini masih terdapat kategori kelas peserta PPU sesuai hasil akhir besaran iuran.

Setelah kelas standar berlaku, maka seluruh pekerja dari level eksekutif hingga karyawan baru akan berada di satu kelas JKN yang sama. Menurut Timboel, hal tersebut rawan menimbulkan protes karena perusahaan akan merasa keberatan jika membayar iuran dalam jumlah besar tetapi manfaatnya mengalami 'penurunan'.

Timboel menilai bahwa kondisi tersebut membuat penerapan kelas standar akan sangat memengaruhi pendapatan iuran BPJS. Oleh karena itu, pemerintah dan BPJS Kesehatan harus memastikan surplus yang terjadi tahun ini tidak akan kembali goyah saat kelas standar diterapkan.

"Kalau bicara sumber pemasukan, yang tertinggi dari PBI Rp48,7 triliun dan PPU pemerintah Rp25 triliun itu relatif akan menerima-menerima saja [tidak terpengaruh kebijakan kelas standar]. Tapi PPU Badan Usaha yang Rp31 triliun dan PBPU yang 31 juta orang ini akan ada persoalan," ujarnya.

BPJS Watch menyarankan agar pemerintah dapat memastikan seluruh peserta yang tidak mampu dapat masuk ke segmen PBI, sehingga peserta mandiri akan memiliki kemampuan untuk membayar iuran pasca pemberlakuan kelas standar. Selain itu, pemerintah pun dapat memberlakukan subsidi bagi sejumlah peserta saat kebijakan kelas standar mulai berlaku.

Timboel menilai bahwa meskipun terdapat potensi penurunan pendapatan iuran saat kelas standar berlaku, surplus dapat kembali terjadi jika beban manfaat JKN itu dapat diimbangi. Saat ini, Rp91 triliun atau sekitar 81,8 persen dari total beban pembiayaan JKN senilai Rp111,24 triliun berasal dari pelayanan untuk rawat inap dan rawat jalan tingkat lanjut di rumah sakit, hanya sebagian kecil untuk Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).

Pemerintah pun perlu mengantisipasi adanya lonjakan jumlah peserta yang berobat ke rumah sakit setelah kondisi pandemi Covid-19 lebih membaik, karena akan meningkatkan beban pelayanan kesehatan. Menurut Timboel, saat ini banyak peserta JKN yang khawatir untuk berobat.

"Saya khawatir nanti orang yang sakit akan berbondong-bondong ke rumah sakit, tapi nanti kondisinya mungkin komplikasi karena sekarang tidak berobat. Potensi penurunan pendapatan bisa terjadi, tinggal bagaimana dari sisi beban manfaatnya," ujar Timboel.

Sebelumnya, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni menjelaskan bahwa penerapan kelas standar itu akan dilakukan secara bertahap. Pertama, pada 2021 akan terdapat pilot study atau penerapan sebagian, dilanjutkan dengan penerapan lebih besar pada 2022.

Menurutnya, tidak adanya kelas kepesertaan di BPJS Kesehatan akan memengaruhi sejumlah aspek, mulai dari besaran iuran yang dibayarkan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hingga beban biaya pelayanan kesehatannya.

"Ada perhitungan terhadap supply side dan aktuarial, premi belum bisa dihitung [saat ini] karena harus dilihat dampak [penerapan kelas standar] terhadap supply side-nya. Perhitungan aktuaria akan kami lakukan, tapi kami masih dalam tahap pengajian karena ada konsultasi publik," ujar Choesni pada pekan lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper