Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Asuransi Berbasis Digital Lebih Tangguh Hadapi Badai Corona

Industri asuransi harus memiliki peranan dalam ekosistem digital agar bisa terus berkembang.
Karyawan melihat logo-logo perusahaan asuransi yang berada di Kantor Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) di Jakarta, Senin (2/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan melihat logo-logo perusahaan asuransi yang berada di Kantor Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) di Jakarta, Senin (2/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Operasional asuransi jiwa secara digital dinilai mampu bertahan menghadapi krisis ekonomi akibat pandemi virus corona. Ke depannya, digitalisasi asuransi perlu berkembang menjadi omnichannel agar industri dapat mengoptimalkan potensi untuk terus tumbuh.

Presiden Direktur PT Central Asia Financial (Asuransi Jagadiri) Reginald Josiah Hamdani menjelaskan bahwa di tengah kondisi pasar yang penuh gejolak, pihaknya mampu mempertahankan kinerja pada semester I/2020. Padahal, industri asuransi jiwa mengalami perlambatan pada paruh pertama tahun ini.

Berdasarkan laporan keuangan per Juni 2020, Jagadiri membukukan premi Rp24,11 miliar. Jumlah tersebut tumbuh 11,29 persen (year-on-year/yoy) dibandingkan dengan posisi Juni 2019 dengan perolehan premi Rp21,66 miliar.

Menurutnya, industri asuransi jiwa mengalami perlambatan kinerja karena aktivitas tatap muka dari tenaga pemasar menjadi terbatas akibat pandemi. Namun, hal tersebut tidak sepenuhnya terjadi bagi perusahaan asuransi berbasis online seperti Jagadiri.

"Memang sejak Agustus 2020 kami melihat adanya penurunan premi tapi bukan di sisi penjualan [polis baru], tapi dari menurunnya daya beli. Dari potongan kartu kredit [untuk pembayaran premi eksisting] mulai banyak insufficient fund," ujar Reginald kepada Bisnis, Rabu (30/9/2020).

Dia menjelaskan bahwa hal tersebut menjadi gambaran bahwa operasional asuransi secara digital dapat bertahan menghadapi kondisi pandemi. Kanal distribusi yang bersifat langsung menyentuh nasabah dan jenis produk pure risk dinilai sebagai salah satu faktor pendukung tahannya asuransi online.

Reginald pun menilai bahwa tren tersebut dapat terus berkembang seiring semakin besarnya pemanfaatan teknologi. Bahkan, pengembangan asuransi berbasis digital akan semakin gencar, sekalipun pandemi Covid-19 sudah berakhir.

Menurutnya, terdapat dua langkah utama dalam pengembangan bisnis asuransi berbasis digital dalam dekade selanjutnya. Pertama yakni product manufacturing atau penyusunan produk yang berorientasi kepada kebutuhan nasabah dan cara mendapatkannya.

Produk asuransi itu perlu dibuat sedemikian rupa agar sesuai dengan tempat di mana polis itu dijual, apakah di platform milik perusahaan itu sendiri atau melalui broker online. Menurut Reginald, saat ini langkah digitalisasi asuransi yang terjadi di industri kerap belum maksimal.

Asuransi Berbasis Digital Lebih Tangguh Hadapi Badai Corona

Karyawan berkomunikasi didekat logo beberapa perusahaan asuransi di kantor Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) di Jakarta, Selasa (15/1/2020). Bisnis/Nurul Hidayat

"Kadang berpikirnya hanya meng-online-kan asuransi, servisnya dulu kebanyakan yang menjadi online, tapi online sales belum menjadi yang utama. Pendekatan produknya pun menjadi belum sepenuhnya berorientasi online," ujarnya.

Reginald menilai bahwa ke depannya industri harus mengubah pendekatan terhadap asuransi berbasis digital menjadi 'asuransi itu dijual', bukan lagi 'asuransi itu dibeli'. Artinya, produk yang ada di berbagai platform online merupakan apa yang dicari dan dibutuhkan oleh calon nasabah.

Hal tersebut akan berkaitan dengan langkah pengembangan bisnis asuransi menjadi omnichannel, yakni penggabungan antara online dengan offline. Reginald mencontohkan bahwa pembelian asuransi akan ditindaklanjuti oleh pihak tenaga pemasar, baik melalui telepon maupun aplikasi pengirim pesan.

Selain itu, asuransi pun perlu memastikan adanya berbagai layanan offline dalam seluruh aktivitas asuransi. Salah satu aspek utama yakni layanan pembayaran secara offline, meskipun pembelian produknya terjadi secara online.

"Kami tidak bisa terlalu idealis hanya berjualan online, semua digitalisasi, tidak bisa. E-commerce saja masih sangat bergantung dengan gerai minimarket karena banyak pembayaran yang dilakukan secara offline, harus diakui bahwa digitalisasi di Indonesia belum 100 persen digital sehingga perlu sinergi online dan offline," ujarnya.

Reginald menilai bahwa hal tersebut dapat memengaruhi keinginan masyarakat untuk memiliki proteksi karena pembelian dapat dilakukan dengan mudah dan pembayaran dapat dilakukan secara langsung atau fisik.

Dia pun menilai bahwa pada akhirnya, industri asuransi harus memiliki peranan dalam ekosistem digital agar bisa terus berkembang. Saat menjadi bagian dari ekosistem itu, berbagai integrasi dapat bermanfaat bagi pengembangan layanan asuransi.

"Kalau merujuk ke pasar lain [di China], ZhongAn Insurance itu terintegrasi dengan Tencent yang memiliki aplikasi pesan WeChat, padahal [Tencent] itu pun awalnya mengembangkan game. Saat membeli asuransi tidak sulit karena di WeChat ada layanan WeChat Pay, integrasi seperti itu dapat mendorong industri asuransi," ujar Reginald.

Lembaga riset McKinsey, dalam laporan bertajuk The Future of Life Insurance, menilai bahwa industri asuransi jiwa memiliki sejumlah peluang yang menjanjikan dalam dekade mendatang, salah satunya karena permintaan asuransi secara global mencapai titik tertingginya sepanjang masa. Adanya pandemi Covid-19 membuat masyarakat dunia memerlukan perlindungan jiwa dan kesehatan.

Untuk menangkap peluang tersebut, McKinsey menilai terdapat tiga strategi yang perlu diadaptasi oleh industri asuransi jiwa selama satu dekade ke depan. Pertama yakni mempersonalisasi setiap aspek pengalaman nasabah, salah satunya dengan menjadikannya produk yang sesuai kebutuhan.

Kedua, industri asuransi jiwa perlu mengadopsi pengembangan solusi produk yang fleksibel terhadap berbagai perubahan regulasi dan suku bunga. Tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini perlu menjadi perhatian besar karena dapat menimbulkan ketidakpastian suku bunga, yang berpengaruh terhadap imbal hasil investasi asuransi.

Strategi ketiga yakni pengembangan kembali keterampilan dan kemampuan semua unsur industri asuransi jiwa. McKinsey menilai bahwa perusahaan asuransi jiwa harus mampu merespons dan menangkap perubahan keterampilan dan karakteristik tenaga kerja di masa depan.

Faktor itu akan berkaitan dengan pemanfaatan teknologi dalam omnichannel, yang kemudian akan menuntut agen asuransi untuk semakin memiliki keterampilan emosional, interpersonal, dan sosial. Meskipun begitu, McKinsey menekankan bahwa perubahan lanskap tenaga kerja itu tidak akan menghilangkan pekerjaan, melainkan mengubah sifat dari pekerjaan di industri asuransi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper