Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dilema Bank Kecil Saat Kredit Memburuk, Antara Jaga Laba dan Tambah Pencadangan

Senior Faculty LPPI Moch Amin Nurdin mengatakan pembentukan CKPN perlu dilakukan bank kecil sebagai antisipasi pemburukan kualitas kredit. Apalagi saat program restrukturisasi berakhir bisa saja menghasilkan adanya debitur bermasalah.
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Bank-bank kecil diharapkan tetap membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) meskipun ada relaksasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71.

Adapun PSAK 71 mulai berlaku per awal tahun ini. Dengan PSAK 71, memberikan standar baru dalam pembentukan pencadangan atas penurunan nilai aset keuangan berupa piutang, pinjaman, atau kredit. PSAK 71 mengharuskan perbankan membentuk CKPN lebih besar dibanding sebelumnya karena pencadangan perlu dibentuk sejak awal periode kredit.

Namun, sejak pandemi Covid-19 melanda pada Maret tahun ini, OJK memberikan relaksasi PSAK 71 dengan mengizinkan perbankan tidak perlu membentuk CKPN.

Senior Faculty LPPI Moch Amin Nurdin mengatakan pembentukan CKPN perlu dilakukan bank kecil sebagai antisipasi pemburukan kualitas kredit. Apalagi saat program restrukturisasi berakhir bisa saja menghasilkan adanya debitur bermasalah. Bank pun akan lebih siap menghadapi pemburukan kualitas kredit jika CKPN tetap dibentuk.

Meskipun, di satu sisi, diakuinya pembentukan CKPN membuat laba maupun modal bank tergerus. Namun, efek selanjutnya dari pandemi yang akan membuat laba tergerus tetap harus diwaspadai.

"Menurut saya tetap membenruk CKPN dengan baik meski tetap memanfaatkan relaksasi PSAK 71 sehingga saat program restrukturisasi berakhir dan beberapa nasabahnya bermasalah, mereka sudah lebih siap," katanya kepada Bisnis, Rabu (7/10/2020).

Berdasarkan data grafis dari paparan Otoritas Jasa Keuangan, porsi pembentukan CKPN terhadap total kredit di bank umum kegiatan usaha (BUKU) IV adalah sebesar 2,33%, BUKU III 1,61%, BUKU II 1,69%, dan BUKU I 0,89%. Dari grafik terlihat pembentukan CKPN bank BUKU IV dan III terus meningkat, berbeda dengan BUKU I dan II yang menunjukkan penurunan.

Bisnis menghitung pembentukan CKPN bank BUKU I yang tertuang dalam statistik perbankan Indonesia (SPI) OJK. Dari data tersebut, pembentukan CKPN bank kecil terlihat menurun sejak pandemi Covid-19. Per Maret 2020, CKPN bank BUKU I adalah senilai Rp1,076 triliun kemudian turun 27,23% padda April menjadi Rp783 miliar. Penurunan terus berlanjut hingga Juli 2020 menjadi Rp655 miliar.

Pembentukan CKPN pada bank BUKU II juga menurun meskipun tidak setajam bank BUKU I. Per Maret 2020, CKPN bank BUKU II adalah sebesar Rp23,771 triliun, kemudian turun 0,44% pada April 2020 menjadi Rp23,67 triliun. Penurunan terus berlanjut hingga mencapai Rp22,93 triliun per Juli 2020.

Menurutnya, penurunan porsi CKPN bank kecil kemungkinan terjadi karena memanfaatkan relaksasi PSAK 71. Meski sebagian bank sudah siap dengan penerapan PSAK tersebut karena sudah lama digaungkan, tetapi adanya relaksasi membuat bank memilih untuk menghindari cadangan yang besar dan bisa mengggerus laba dan juga modal.

"Saya masih berharap mereka lebih berhati hati karena bukan berarti tidak ada risiko di depan, manakala program restrurisasi berakhir dan sebagian mereka alpa dan atau merugi dalam kegiatan usahanya, maka akan menimbulkan masalah NPL dan untuk itu kemudian perlu CKPN juga," katanya.

Terpisah, Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mengatakan pembentukan CKPN bank Buku I dan II memang kecil karena menyesuaikan dengan kredit yang disalurkan. Apalagi, 70% pasar kredit memang didominasi bank besar yakni BUKU IV.

Hanya saja, pembentukan pencadangan pada bank BUKU I dan II yang terpantau menurun juga disebabkan adanya relakasi dari OJK. Meskipun tidak disebutkan dalam aturan pasti, tetapi bank memang diperbolehkan untuk tidak membentuk CKPN pada kredit yang direstrukturisasi.

Kondisi ini pun diterapkan oleh bank kecil untuk menjaga agar laba tidak tergerus. Sebaliknya, bank besar yang juga melakukan restrukturisasi, tetap membentuk CKPN pada debitur-debitur yang perlu diwaspadai kemampuannya untuk bangkit.

"POJK 11 ada catatan yang memang dianggap lancar tidak perlu CKPN, tetapi kalau dilihat dari dewan akuntansi mereka belum mengeluarkan statement resmi untuk perbolehkan itu. Ini yang akan menjadi risiko bagi bank jika tidak membentuk CKPN," katanya kepada Bisnis, Rabu (7/10/2020).

Menurutnya, di tengah pandemi, banyak perhitungan yang dibuat oleh bank untuk memutuskan pembentukan CKPN. Jika bank membentuk CKPN, hal ini kemudian akan mempengaruhi penurunan laba, selanjutnya pendapatan bunga bersih atau net interest margin (NIM) juga akan terkena.

Hal ini berbeda dengan bank besar yang menilai pembentukan CKPN harus dibentuk saat ini di tengah pandemi untuk berjaga-jaga atas risiko yang dapat terjadi di kemudian hari. "Kalau diwajibkan [tetap bentuk CKPN], nanti bank bisa jadi rugi, karena CKPN gede, makanya sekarang diberikan pilihan."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper