Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penanganan Covid-19 Tak Optimal Bikin Kebijakan Suku Bunga BI Melempem

Sayangnya, dampak dari kebijakan tersebut masih kurang terasa lantaran penyebaran Covid-19 yang masih belum mereda di Tanah Air. Hal ini termasuk kebijakan suku bunga acuan yang diturunkan bank sentral bulan ini.
Pengamat Ekonomi Faisal Basri memaparkan materinya pada seminar Prediksi Ekonomi 2018: Economy and Capital Market Outlook 2018 dengan tema At The Crossroad, di Jakarta, Kamis (9/11)./JIBI-Abdullah Azzam
Pengamat Ekonomi Faisal Basri memaparkan materinya pada seminar Prediksi Ekonomi 2018: Economy and Capital Market Outlook 2018 dengan tema At The Crossroad, di Jakarta, Kamis (9/11)./JIBI-Abdullah Azzam


Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menilai pemerintah dan Bank Indonesia sudah maksimal dalam merespons tekanan ekonomi di tengah pandemi Covid-19.

Sayangnya, dampak dari kebijakan tersebut masih kurang terasa lantaran penyebaran Covid-19 yang masih belum mereda di Tanah Air. Hal ini termasuk kebijakan suku bunga acuan yang diturunkan bank sentral bulan ini.

"BI turunkan suku bunga ke 3,75 persen bulan ini, tidak nendang. Karena apa? Karena Covid-19," ujar dia dalam webinar, Kamis, 26 November 2020. Lantaran pagebluk masih berlangsung, perbankan pun sulit untuk menyalurkan kreditnya.

Faisal melihat perbankan sebenarnya hendak menyalurkan kredit, namun para pengusaha masih belum mau mencairkan kreditnya. Akibatnya penyaluran kredit perbankan terkontraksi o,5 persen pada Oktober 2020.

Kebijakan pemerintah yang memberikan bantuan tunai kepada masyarakat juga dampaknya dinilai tidak efektif lantaran masih di bawah bayang-bayang virus Corona. "Masyarakat lebih memilih menurunkan konsumsi dan menaruh uang di bank," ujar Faisal. Akibatnya, Dana Pihak Ketiga di perbankan pun terus melambung hingga ke level dua digit.

Hal ini, menurut Faisal, menunjukkan bahwa kepercayaan kepada pemerintah untuk menangani virus Corona relatif rendah. Terutama lantaran pemerintah terus melakukan kebijakan yang trial and error, serta masih berfokus kepada ekonomi. "Misalnya kebijakan libur bersama untuk memacu pariwisata, tapi membuat pariwisata semakin terpuruk karena pemulihan semakin lama."

Faisal mengatakan para ekonom akan sulit memprediksi perekonomian lantaran kondisi penularan Covid-19 yang masih memburuk. Di sisi lain, kunci penanganan Covid-19, yaitu pengujian, juga diniai masih belum maksimal dilakukan dan menyebabkan tingkat kematian di Indonesia relatif tinggi.

Tingkat kematian di Indonesia, menurut dia, berada di kisaran 3,18 persen atau lebih tinggi dari rerata dunia yang 2,35 persen.

Dia melihat jumlah pengujian di Indonesia masih belum meningkat signifikan, yaitu 2.000 uji per satu juta penduduk. Jumlah itu, menurut dia, hanya lebih baik dari 12 negara Afrika, serta Myanmar, Afghanistan, dan Bangladesh. Negara-negara itu adalah negara dengan pendapatan per kapita lebih rendah dari Indonesia.

"Indonesia sudah masuk negara berpendapatan menengah ke atas tapi kalah pengujiannya dari negara yang pendapatannya lebih rendah seperti Nepal dan Filipina," ujar Faisal.

Dia juga mengkritik langkah pemerintah yang langsung melompat dengan memilih vaksinasi. Padahal, sampai saat ini efektivitas dari vaksin yang sudah dipesan pemerintah pun masih belum teruji kemanjurannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Newswire
Sumber : Tempo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper