Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penyaluran P2P Lending Naik Rp15 Triliun, DPR Ingin Ada Jaminan Keamanan

Hal ini terungkap dalam rapat dengan pendapat Komisi XI DPR dengan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Kamis (14/1/2021).
Ilustrasi teknologi finansial/Flickr
Ilustrasi teknologi finansial/Flickr

Bisnis.com, JAKARTA - Komisi XI DPR RI menilai platform teknologi finansial peer-to-peer (fintech P2P) lending masih belum memiliki aturan main yang jelas dan mampu menjamin keamanan bagi masyarakat Indonesia.

Hal ini terungkap dalam rapat dengan pendapat Komisi XI DPR dengan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Kamis (14/1/2021).

Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko menjelaskan bahwa industri fintech P2P lending mengalami kenaikan penyaluran pinjaman, dari Rp58 triliun sepanjang 2019 menjadi Rp73 triliun sepanjang 2020.

"Ini merepresentasikan 25 persen pertumbuhan, bahkan walaupun pada 2020 kami sempat terdampak masa pandemi. Harapannya di 2021 ini dengan tren yang ada, penyaluran kita bisa mencapai Rp100 triliun," ungkapnya.

Menanggapi perkembangan industri P2P lending, pada dasarnya Komisi XI DPR menilai era digitalisasi memang tak bisa dihindari, tetapi masyarakat Indonesia masih belum punya kesiapan literasi keuangan digital yang memadai.

Inilah kenapa menurut para anggota dewan, masih banyak aduan masyarakat yang terjebak dirugikan dalam fintech, karena belum bisa membedakan platform fintech P2P lending resmi dan legal, dengan pinjaman online 'pinjol' ilegal.

"Masa pandemi ini sebenarnya peluang besar bagi fintech. Tapi yang bagus ini masih kalah tenar dengan pinjol, karena mereka yang melakukan segala cara, SMS, telepon. Jadi, yang kami inginkan itu agar AFPI lebih terlihat," ujar Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menilai aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum cukup hanya menjadi pegangan platform fintech lending, terutama soal jaminan keamanan dan risiko.

Terlebih, dalam membatasi maraknya platform ilegal yang merugikan masyarakat dan mengatasi gap peraturan terhadap lembaga keuangan yang lebih senior, seperti perbankan, multifinance, LKM, atau BPR.

Anggota Komisi XI DPR RI Vera Febyanthy mengungkap hal serupa, menilik industri ini juga berhubungan erat dengan isu keamanan data pribadi dalam layanan keuangan.

"Kami ingin melindungi industri ini supaya ada kepastian hukum yang jelas ke depannya. Bagaimana masyarakat bisa melakukan transaksi digital yang aman," ujarnya.

Menanggapi masukan para anggota Komisi XI DPR RI, AFPI menyatakan memang membutuhkan regulasi khusus, salah satunya RUU perlindungan datang pribadi, agar para platform resmi dan berizin memiliki pembeda yang jelas dengan platform ilegal, penegakkan hukum pun bisa berjalan lebih baik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper