Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bila BP Jamsostek Cabut dari Bursa, Apa Akibatnya?

Saat ini, dana di saham dan reksadana milik BP Jamsostek berkisar Rp150 triliun.
Istimewa
Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA – Di tengah pergerakan kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) yang masih belum pulih akibat pandemi Covid-19, beberapa investor baik badan maupun ritel, mengalami kerugian ada yang sudah menjadi kerugian nyata saat investor melakukan cut loss, ada juga yang hanya berupa unrealized loss alias kerugian di atas kertas karena belum menjual portofolionya.

Hal ini salah satunya dialami oleh Badan Pengelola Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek). Berdasarkan informasi yang didapatkan Bisnis, BP Jamsostek mengalami unrealized loss sebesar Rp24 triliun pada 31 Desember 2020.

Angkanya menurun pada 14 Januari 2021 menjadi Rp13 triliun seiring pergerakan IHSG yang ada di level 6.428. Sebelumnya, angka unrealized loss sempat tinggi pada dalam kurun Agustus–September 2020 yang mencapai sekitar Rp40 triliun.

Potensi kerugian ini menjadi pintu masuk yang menyebabkan BP Jamsostek tengah dikeker oleh Kejaksaan Agung. Kejagung menyampaikan ada dugaan tindak pidana korupsi di badan tersebut dengan pola korupsi yang sama dengan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang berdampak pada kerugian negara dengan nilai hampir Rp43 triliun.

Namun, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar berpandangan tidak ada unsur kerugian di tubuh BPJS Ketenagakerjaan selain perkara unrealized loss investasi dari pengelolaan dana jaminan sosial.

"Jika yang dipermasalahkan Kejagung RI perkara unrealized loss, maka hal tersebut tidak bisa dipidanakan, karena itu mekanisme pasar. Apalagi jika unrealized loss disebabkan saham-saham yang merupakan saham kategori LQ45 yang mengalami koreksi saat pandemi, bukan saham “gorengan” seperti Jiwasraya,” ujar Timboel, Selasa (26/1/2021).

Menurutnya, informasi yang beredar soal unrealized loss ini harus diluruskan. Dia menilai apa yang dilakukan BP Jamsostek berbeda dengan kasus Jiwasraya yang terbukti mengoleksi saham-saham “gorengan” sehingga membuat asetnya memburuk.

Dia menegaskan, kondisi unrealized loss tidak serta merta menjadi suatu tindak pidana. Bahkan, bila dilanjutkan, akan menjadi preseden buruk bagi pengelolaan investasi oleh institusi lainnya.

Jika dampak dari penyidikan ini membuat BPJS Ketenagakerjaan memutuskan keluar dari pasar saham dan membawa nilai investasi yang saat ini dimiliki sekitar Rp150 triliun, imbuh Timboel, maka imbasnya akan negatif terhadap perkembangan pasar modal Indonesia.

“Siapa yang bisa menggantikan dana sekitar Rp150 triliun. Ini akan menjadi permasalahan secara makro ekonomi negara,” kata dia.

Senada, Analis dan Pemerhati Pasar Modal Toto Murdiono menilai kapitalisasi pasar di BEI saat ini berkisar Rp7.000 triliun dengan transaksi harian sekitar Rp18 triliun.

“Dengan demikian jika BP Jamsostek keluar dari pasar saham, maka imbasnya akan berdampak pada likuiditas pasar modal. Mungkin akan bisa menjadi sentimen buruk bagi perkembangan pasar modal jika melihat dana sekarang di saham dan reksadana milik BP Jamsostek yang berkisar Rp150 triliun.”

Terkait instansi pemerintah atau badan hukum publik yang menggunakan saham jenis LQ45, menurut Toto, tidak ada investasi yang 100% aman. Dalam sejarah pasar modal, ada banyak perusahaan yang sebelumnya masuk LQ45 namun harus dikeluarkan dari daftar karena kinerjanya menurun dan tidak memenuhi kriteria lagi.

Lebih lanjut, Toto menuturkan BPJS Ketenagakerjaan pada dasarnya sudah melakukan mitigasi risiko dengan menempatkan saham di LQ45. Akan tetapi, saham-saham di kategori ini juga mengalami stagnasi harga bahkan penurunan yang disebabkan faktor fundamental, sentimen pasar, serta kondisi makro ekonomi.

‘Para analis pasar modal pasti sudah terbiasa membedah 6 rasio dasar setiap perusahaan seperti EPS, PER, PBV, ROE, DER, Deviden Yield. Namun harus dipahami bahwa pergerakan saham di Bursa efek tidak melulu tentang fundamental, ada faktor sentimen pasar yang irasional, tapi justru sangat mempengaruhi fluktuasi harga saham. Jadi bisa saja saham LQ45 secara fundamental baik, tapi tidak menarik para investor sehingga harganya tidak kunjung meningkat,” kata dia.

BP Jamsostek memang masih belum memastikan apakah akan menarik dananya dari bursa. Meski demikian, pemeriksaan intensif oleh Kejagung atas investasi BP Jamsostek disebut-sebut ikut menambah tekanan terhadap IHSG.

Pada Selasa (26/1/2021), IHSG ditutup anjlok 1,89% atau sebanyak 118,4 poin ke level 6.140,17. Adapun posisi indeks sekarang ini memperpanjang penurunan selama tiga hari beruntun.

Kepala Riset Reliance Sekuritas Lanjar Nafi berpendapat pelemahan IHSG turut dipicu oleh kekhawatiran investor mengenai penyelidikan Kejagung di BPJS Ketenagakerjaan. “[Pelemahan IHSG karena] aksi kekhawatiran investor terhadap kasus BPJS Ketenagakerjaan yang diselidiki secara intensif oleh Kejagung,” tulis Lanjar dalam riset, Selasa (26/1/2021).

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan Bursa Efek Indonesia (BEI) Kristian S. Manullang mengatakan kerugian dalam portofolio investasi belum dapat diakui selama belum diakui alias masih berupa unrealized loss.

“Kami berpandangan kalau belum direalisasikan tentu unrealized loss belum dianggap sebagai pasti rugi. Aman atau tidaknya suatu investasi juga bukan bagian dari tugas BEI untuk menilai. Kami menyerahkan kepada pelaku pasar untuk menilai risiko dan peluang keuntungannya,” kata Kristian. Dari data yang didapatkan Bisnis, sebanyak 98% dari investasi saham yang dilakukan BP Jamsostek dibelikan ke saham-saham konstituen indeks LQ45 dan 2% lainnya ke saham yang pernah masuk indeks LQ45.

Terkait dengan saham-saham LQ45, Kristian menegaskan pihaknya memilih konstituen berdasarkan kriteria aktivitas transaksi dan ukuran saham atau kapitalisasi pasar sesuai parameter yang ditetapkan bursa.

Apabila terjadi kerugian dalam investasi, hal itu dinilai wajar karena capital gain dan capital loss selalu terjadi sesuai dengan pergerakan harga saham yang masuk dalam portofolio.

Data BEI menunjukkan IHSG terkoreksi 5,09 persen di sepanjang 2020 dan indeks LQ45 turun 7,85 persen. Sedangkan hingga 25 Januari 2021 secara year-to-date, IHSG tumbuh 4,67 persen.

Adapun, ketika dikonfirmasi, BP Jamsostek belum bersedia mengungkapkan daftar emiten yang dimiliki lantaran masih dalam proses penyidikan. Namun, berdasarkan informasi yang dihimpun Bisnis, institusi itu mencatatkan kepemilikan langsung di sedikitnya dua emiten BUMN, yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk. (JSMR).

Untuk saham BMRI menggunakan dana jaminan sosial (DJS), sedangkan untuk JSMR menggunakan dana badan, yakni dana milik BPJS Ketenagakerjaan sebagai instansi, yang terpisah dari DJS yang berasal dari iuran peserta dan digunakan untuk membayar manfaat peserta.

Mengutip data Bloomberg, BP Jamsostek memiliki 857,7 juta lembar saham BMRI per akhir Desember 2020 atau menjadi pemegang saham terbanyak kedua setelah pemerintah. Penempatan di BMRI dilakukan secara bertahap sejak kuartal II/2020. Adapun, di JSMR, BP Jamsostek tercatat memiliki 247,5 juta lembar saham per akhir Desember 2020.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : News Editor
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper