Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penurunan Suku Bunga Dinilai Bukan Jaminan Kredit Moncer. Lalu Apa, Dong?

Sepanjang tahun lalu, BI7DRR telah turun hingga 125 bps dari 5,00 persen menjadi 3,75 persen, tetapi perbankan dinilai kurang greget dalam meresponsnya.
Petugas teller menata uang rupiah di salah satu cabang Bank Mandiri di Jakarta, Rabu (19/2/2020). Bisnis/Arief Hermawan P
Petugas teller menata uang rupiah di salah satu cabang Bank Mandiri di Jakarta, Rabu (19/2/2020). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) menginginkan industri perbankan secepatnya merespons suku bunga acuan BI yang rendah, BI 7day Reverse Repo Rate (BI7DRR), dengan menurunkan suku bunga kredit

Hal ini untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional akibat dampak Pandemi Covid-19. Dengan suku bunga kredit yang rendah, diharapkan pelaku usaha terangsang melakukan kredit untuk melakukan ekspansi dan belanja. Ujungnya kredit bertumbuh, konsumsi naik, ekonomi pun bangkit. 

Sepanjang tahun lalu, BI7DRR telah turun hingga 125 bps dari 5,00 persen menjadi 3,75 persen, tetapi perbankan dinilai kurang greget dalam meresponsnya.

Hingga Desember 2020, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) Modal Kerja tercatat turun 88 basis poin (bps) menjadi 8,88 persen, SBDK Investasi turun 102 bps menjadi 9,21 persen, SBDK Konsumsi turun 65 bps menjadi 10,97 persen. 

Kemudian SBDK ritel 8,88 persen (turun 84,2 bps), korporasi 8,75 persen (turun 79,9 bps), kredit pemilikan rumah (KPR) 8,36 persen (turun 73,1 bps), non-KPR 8,69 persen (turun 56,3 bps), dan mikro 7,33 persen (turun 49 bps). Sayangnya laju penurunan suku bunga kredit ini tidak secepat suku bunga acuan BI. 

Oleh sebab itu, BI berencana melakukan penguatan komunikasi dan transparansi suku bunga serta menerbitkan aturan baru terkait publikasi asesmen suku bunga kredit berdasarkan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dan spread SBDK.

Diharapkan, hal ini dapat memperkuat pemahaman dunia usaha sehingga ujungnya akan mendorong bank bisa menurunkan suku bunga kredit masing-masing sesuai kondisinya. 

Menanggapi hal ini, Kepala Ekonom BRI Anton Hendranata mengatakan sebenarnya perbankan sudah berusaha menurunkan suku bunga pinjamannya, tapi memang perlu waktu karena urutannya ketika suku bunga acuan BI turun, maka suku bunga deposito turun terlebih dahulu kemudian suku bunga pinjaman. 

"Pertumbuhan kredit sudah lama turunnya bukan hanya 2020 saja, memang agak melambat penurunannya kreditnya. Ada hal yang extraordinary karena pandemi. Pada situasi pandemi permintaan lemah, daya beli masyarakat terbatas," katanya melalui siaran pers, Senin (8/2/2021). 

Menurutnya, penurunan suku bunga kredit memang diperlukan, tapi ini tidak cukup dan bukan faktor utama dalam mendorong pertumbuhan kredit. 

Pasalnya, pertumbuhan kredit dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga, daya beli masyarakat, suku bunga, kualitas kredit yang tercermin dari rasio NPL, dan penjualan eceran. 

Dia melanjutkan dengan menggunakan model ekonometrika, secara umum terbukti bahwa pertumbuhan kredit dipengaruhi secara signifikan oleh variabel konsumsi rumah tangga (consumption), daya beli masyarakat (Real M2), suku bunga (interest rate), kredit bermasalah (NPL), dan penjualan eceran (retail sales). 

Adapun variabel yang paling sensitif atau elastisitas paling tinggi adalah pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat. 

"Jika konsumsi RT dan daya beli masyarakat tidak kuat, maka tidak kuat mendorong penyaluran kredit meskipun perbankan sudah menurunkan suku bunga dan perbankan sudah menurunkan bunga," ujarnya. 

Sementara itu, Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah menuturkan rigiditas atau kekakuan suku bunga kredit adalah fenomena moneter.

Suku bunga kredit yang lambat menurun mengikuti suku bunga acuan sudah turun bukan disebabkan oleh kurang transparannya bank dalam proses penetapan suku bunga kredit. Bukan juga disebabkan oleh kurang efisiennya pengelolaan bank. 

Menurutnya, BI seharusnya sudah sejak dulu menganalisis penyebab tidak berjalannya transmisi moneter jalur suku bunga. Ketimbang sibuk mengurusi kebijakan lembaga lain, BI sebaiknya fokus mencari apa yang salah pada operasi moneter. 

"Suku bunga adalah domain atau tugasnya BI. Rigiditas suku bunga menurut saya karena ada yang salah dalam operasi moneter BI. Sistem insentif yang diciptakan oleh operasi moneter BI membuat bank punya bargaining position yang besar terhadap nasabah kredit," katanya. 

Di sisi lain nasabah pemilik dana besar punya bargaining yang besar terhadap bank dan mampu menetapkan suku bunga. Jadi, menurut Piter, untuk menghilangkan rigiditas suku bunga kredit, BI seharusnya perlu melakukan evaluasi terhadap operasi moneternya. 

Dalam penelitian yang dia lakukan pada 2015 tentang perilaku pembentukan suku bunga bank umum menggunakan pendekatan game theory menunjukkan hasil yang sangat menarik. 

Ketika BI menurunkan suku bunga acuan, respons terbaik (nash equilibrium) dari bank-bank adalah menurunkan suku bunga deposito dan di sisi lain menahan suku bunga kredit. 

"Artinya fenomena rigiditas suku bunga kredit sudah bisa diprediksi sejak awal. Bank-bank akan cenderung memanfaatkan turunnya suku bunga acuan untuk melebarkan net interest margin [NIM] guna mendapatkan keuntungan yang lebih besar," ucap Piter. 

Peluang bank mendapatkan keuntungan dengan memperlebar NIM tercipta dari operasi moneter BI. Kebijakan moneter yang cenderung kontraktif menawarkan insentif bagi bank sehingga bank-bank yang memiliki cost of fund yang cukup rendah bisa memilih menempatkan dananya di instrumen moneter atau menyalurkannya dalam bentuk kredit. 

"Bank memiliki bargaining position yang cukup tinggi terhadap nasabah kredit, termasuk dalam hal menetapkan suku bunga," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper