Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BI Dinilai Perlu Tahan Suku Bunga Acuan, Ini Alasannya

Posisi BI menahan suku bunga dinilai tepat karena pelonggaran moneter lebih lanjut berpotensi memperparah arus modal keluar dan Indonesia pun masih jauh dalam tahap ideal untuk mengimplementasikan pengetatan moneter tanpa membahayakan pemulihan di sektor riil.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan keterangan melalui streaming di Jakarta, Rabu (18/8/2020), Dok. Bank Indonesia
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan keterangan melalui streaming di Jakarta, Rabu (18/8/2020), Dok. Bank Indonesia

Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) dinilai masih perlu mempertahankan suku bunga acuan atau BII-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) pada level 3,5 persen.

Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menyampaikan bahwa dari sisi sisi eksternal, kombinasi dari program stimulus yang masif dan pemulihan yang terjadi lebih awal meningkatkan tekanan inflasi, sehingga pengetatan moneter terpaksa dilakukan, salah satunya di Amerika Serikat.

Dari sisi domestik, angka kasus harian Covid-19 yang terkendali telah mendorong terciptanya momentum baru dari pemulihan ekonomi.

Riefky menyampaikan, disrupsi di sektor riil dalam bentuk apapun dapat mengganggu proses pemulihan yang sedang berlangsung.

Oleh karena itu, menurutnya, pelonggaran moneter berpotensi memperparah arus modal keluar dan Indonesia pun masih jauh dalam tahap ideal untuk mengimplementasikan pengetatan moneter tanpa membahayakan pemulihan di sektor riil.

“Menahan suku bunga kebijakan di angka 3,5 persen merupakan langkah yang dirasa tepat untuk saat ini,” katanya dalam laporan analisis LPEM UI, Rabu (17/11/2021).

Riefky mengatakan, meskipun momentum pemulihan ekonomi sudah berlangsung, angka inflasi masih menunjukkan daya beli dan permintaan agregat masih di bawah kondisi normal, di mana angka inflasi masih lebih rendah dari batas bawah target inflasi BI senilai sebesar 2 persen.

Sementara itu, di pasar keuangan domestik terjadi arus modal keluar sejak awal November, seiring dengan the Fed yang mengumumkan secara resmi dimulainya program tapering off stimulus senilai US$120 miliar dengan mengurangi pembelian aset secara bertahap senilai US$15 miliar per bulan, terhitung sejak November ini.

Tercatat, turun sekitar US$1,35 miliar, dari sebesar US$7,13 miliar di awal November menjadi US$5,78 miliar pada pertengahan November.

Kondisi ini mendorong naiknya premi risiko investasi Indonesia, tercermin dari peningkatan premi CDS 5 tahun ke 84,27 bps pada minggu kedua November dari 79,58 bps di minggu sebelumnya.

Rupiah pun mengalami tekanan dalam beberapa minggu terakhir. Performa positif ekspor yang berlanjut, menarik valuta asing masuk sehingga memberi tekanan apresiasi terhadap nilai tukar rupiah. Di sisi lain, tekanan dari sektor finansial akibat arus modal keluar memberikan tekanan depresiasi pada rupiah.

Meski terjadi tekanan arus modal keluar, reaksi pasar cenderung positif menanggapi kebijakan normalisasi the Fed.

“Berkat kebijakan forward guidance yang cukup jelas, tapering off yang terjadi saat ini dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan gejolak di pasar finansial global,” jelasnya.

Riefky menambahkan, jika the Fed terus melanjutkan kebijakan normalisasi secara hati-hati, maka dapat diprediksi tantrum- less taper dapat terjadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper