Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom Senior Beberkan Alasan Kuat di Balik Aksi Big-Tech Akuisisi Bank atau Fintech

Startup teknologi bervaluasi jumbo (big-tech) pasti mengincar kepemilikan di suatu perbankan, agar transaksi yang terjadi dalam ekosistemnya tak lari ke luar.
Ilustrasi brand startup di Indonesia/Istimewa
Ilustrasi brand startup di Indonesia/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan rintisan (startup) bervaluasi jumbo di Tanah Air dengan bisnis inti di luar layanan finansial, mulai memasuki tren mencaplok bank atau fintech, demi naik kelas ke tahap selanjutnya.

Manuver terbaru ini dilakukan oleh unikorn Bukalapak dan Traveloka menyerap rights issue PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) seakan mengonfirmasi pentingnya ikut menyajikan layanan finansial 'milik sendiri' buat ekosistem digital besutannya.

Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani sudah memproyeksi fenomena ini sejak tahun lalu, di mana setiap startup teknologi bervaluasi jumbo (big-tech) pasti mengincar kepemilikan di suatu perbankan, agar transaksi yang terjadi dalam ekosistemnya tak lari ke luar.

"Apalagi kalau masyarakat atau pelaku UMKM di dalam ekosistem tersebut sudah butuh pinjaman. Kalau bisa dari layanan [pinjaman] punya sendiri, kenapa tidak? Tapi secara umum, tren ini bagus, karena bank itu butuh data, terutama segmen UMKM. Sekarang ini, kan, belum ada credit-rating khusus UMKM," jelasnya kepada Bisnis, Rabu (5/1/2022).

Lewat strategi menyajikan layanan finansial, Aviliani melihat big-tech terkait akan mendapat keuntungan bisa naik kelas dan lebih cepat keluar dari zona bakar uang.

Memiliki bank pun akan secara signifikan mendongkrak valuasi, yang pada akhirnya membuka potensi para big-tech terkait mencapai status dekakorn alias menembus US$10 miliar.

Sementara itu, bank terkait yang biasanya akan berubah bentuk menjadi bank digital. Dari sisi keuntungan, jelas bank tersebut akan mendapatkan basis nasabah baru dan notabene lebih terjaga, karena berada dalam naungan ekosistem afiliasi.

Namun demikian, Aviliani melihat setidaknya ada dua tantangan yang bisa menghadang bank-bank digital milik para big-tech. Pertama, layanan mereka akan terlalu bergantung kepada kuantitas transaksi.

"Bank digital saya lihat akan terjun ke segmen ritel. Makanya, optimalisasi dari ekosistem itu harus jalan, terutama untuk mencapai skala ekonomi. Karena kalau transaksinya tidak banyak, cost yang keluar bisa nggak nutup. Jadi semua tergantung bagaimana cara bank digital tersebut melakukan integrasi dan kolaborasi dengan mitra atau pemilik ekosistem digital terafiliasi," jelasnya.

Hambatan kedua yang juga perlu diperhatikan, yaitu kesiapan masyarakat atau pelaku UMKM dalam ekosistem terkait. Aviliani menekankan bahwa belum tentu semua orang cocok dengan pendekatan serba online milik bank digital.

Sebagai contoh, apabila pelaku UMKM dalam ekosistem digital terkait didominasi mereka dari generasi lama, berpendidikan rendah, atau masih gagap teknologi (gaptek), bisa jadi masih takut masuk ke bank digital.

"Maka dari itu, pendekatan secara fisik tetap perlu. Masih banyak pelaku UMKM kita yang gaptek, yang masih menganggap buka rekening itu, ya, harus datang ke kantor cabang bank," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Aziz Rahardyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper