Bisnis.com, JAKARTA -- PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk menyatakan penggabungan entitas atau merger antarbank pelat merah bisa menimbulkan risiko yang lebih besar ketimbang manfaat yang bisa didapat.
Yap Tjay Soen, Direktur Keuangan BNI, mengatakan merger antarbank milik pemerintah perlu memperhatikan beberapa hal, terutama kepentingan pemilik saham minoritas dan kinerja bank hasil penggabungan ke depan. "Kalau dimerger, revenue bisa turun, ongkos bisa naik," jelasnya, Kamis (5/2/2015).
Pernyataan ini menanggapi wacana pemerintah menggabungkan BNI dengan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk untuk membentuk anchor bank yang bisa bersaing di Asia Tenggara. Yap menekankan, BNI menolak jika pemerintah selaku pemegang saham BNI berniat melakukan merger antara BNI dengan Bank Mandiri.
Yap menerangkan, entitas hasil penggabungan akan mengalami tekanan karena biaya operasional akan melonjak akibat penyamaan beban bunga dan operasional karyawan.
Di samping itu, beban bunga akan terkerek sedangkan pendapatan justru turun. "Kalau Anda pinjam kredit bunga 10% di BNI dan di bank lain 12%, ketika merger, Anda mau ambil yang mana?" jelasnya.
Di samping itu, Yap menilai pemegang saham harus menambah modal bank hasil merger karena bank tersebut bisa dipastikan akan tergolong bank lokal berdampak sistemik. Dalam ketentuan, bank berdampak sistemik harus menyediakan cadangan modal sebesar 1%-2,5% dari bobot risiko.
Alhasil, Yap menyebut, alih-alih ekspansi bank hasil merger justru terbebani modal yang besar sehingga kapasitas ekspansi kredit justru tidak optimal.