Bisnis.com, JAKARTA—Penurunan suku bunga kredit usaha rakyat dinilai tidak mungkin terjadi karena biaya operasional kredit sangat tinggi, sementara pemerintah tidak memiliki dana cukup untuk mensubsidi bank penyalur kredit.
Analis DBS Vickers Securities Christopher Daniel Wijaya menilai Bank Indonesia tidak mungkin menurunkan suku bunga kredit usaha rakyat (KUR) sesuai arahan Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa waktu lalu.
“Penurunan suku bunga KUR yang sangat drastis tidak mungkin terjadi,”demikian tertulis dalam riset yang diterbitkan DBS Group, Kamis(11/6/2015).
Pemerintah menghentikan program KUR pada akhir tahun lalu karena tingginya tingkat kredit macet (non performing loan/NPL). Dalam laporan selanjutnya, diindikasikan bahwa program KUR akan dihidupkan kembali oleh pemerintah, tetapi belum dimulai.
Bloomberg melaporkan bahwa Jusuf Kalla ingin menurunkan tarif KUR dari 22%-24% menjadi 12% yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah juga akan mensubsidi pembayaran bunga dan menyediakan dana yang lebih murah.
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk yang memiliki eksposur terbesar untuk pinjaman KUR menggambarkan biaya yang dibutuhkan dalam penyaluran KUR sangat tinggi yakni mencapai 14%-16%.
Biaya operasional dan tenaga kerja dari kredit mikro tercatat mencapai 10%-12% dari nilai pinjaman, sedangkan rerata biaya dana diperkirakan 4%.
Dengan penetapan bunga KUR di level 12%, artinya pemerintah harus mensubsidi dana agar menjadi menguntungkan bagi bank.
“Melihat anggaran yang ada saat ini, pemerintah tidak memiliki dana untuk subsidi,”ujarnya.