Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memberikan pelonggaran pembayaran premi penjaminan untuk meringankan beban industri perbankan dari tekanan ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19.
LPS membebaskan denda bagi bank yang telat membayar premi penjaminan selama 6 bulan ke depan, berlaku mulai Juli 2020. Adapun, besaran premi penjaminan LPS adalah sebesar 0,2 persen dari total dana pihak ketiga (DPK) bank.
Seperti diketahui, bank tidak hanya dibebankan premi penjaminan LPS, tetapi juga iuran yang harus dibayarkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) setiap tahunnya.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan kebijakan pelonggaran yang diberikan LPS kepada perbankan merupakan bentuk simpati dan patut diapresiasi.
Menurutnya, LPS memahami kondisi perbankan yang saat ini mengalami tekanan dari sisi likuiditas. Pelonggaran ini dinilai akan memberikan nafas bagi bank karena beban pengeluaran yang ditangguhkan.
Piter pun berpendapat penangguhan denda premi penjaminan tidak akan berdampak buruk bagi LPS. Namun berbeda bagi OJK jika memberikan pelonggaran iuran, karena kondisi keuangan yang berbeda dengan LPS.
"LPS tentu sudah memperhitungkan kondisi likuiditas LPS. Justru apa yang dilakukan oleh LPS akan berdampak positif bagi LPS. Kalau OJK Saya Kira kondisi keuangannya tidak seperti LPS," katanya, Senin (11/5/2020).
Piter mengatakan pengeluaran yang harus dikeluarkan OJK pun sangat besar untuk membiayai pengawasan lembaga jasa keuangan beserta fungsi lainnya.
Sehingga menurutnya sulit bagi OJK untuk melonggarkan iuran seperti yang dilakukan LPS. "Kecuali kalau biaya operasional OJK dibiayai oleh APBN," tuturnya.
Piter beranggapan, kebijakan yang diambil LPS tentunya untuk membantu melonggarkan ketatnya likuiditas bank, sehingga bank diharapkan tidak ada yang mengalami kegagalan sehingga harus dilikuidasi.
"Selama bank tidak ada yang dilikuidasi, keuangan atau likuiditas LPS akan aman," kata Piter.