Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Pendapat BI Soal Pemangkasan Bunga ECB

Gubernur Bank Indonesia Agus D.W Martowardojo mengatakan kebijakan pelonggaran moneter seperti yang dilakukan ECB menimbulkan divergensi pada perekonomian dunia ditengah penantian kepastian peningkatan FFR.
Bisnis.com, JAKARTA - Bank Sentral Eropa atau European Central Bank (ECB) memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga di posisi 0,05% yang terakhir diputuskan pada bulan September 2014.
 
ECB juga memutuskan untuk menurunkan suku bunga deposito yang lebih dalam, dengan menurunkan tingkat deposit faciilty 10 basis poin menjadi -0,30% yang efektif berlaku sejak tanggal 9 Desember nanti.
 
Sementara itu, Bank Sentral Amerika Serikat atau Fed Federal Reverse (The Fed) dalam Federal Open Market Committee (FOMC) yang berlangsung pada 16 Desember 2015 berencana untuk menaikkan suku bunga acuan atau Fed Fund Rate (FFR).
 
Gubernur Bank Indonesia Agus D.W Martowardojo mengatakan kebijakan pelonggaran moneter seperti yang dilakukan ECB menimbulkan divergensi pada perekonomian dunia ditengah penantian kepastian penaikan FFR.
 
Kebijakan moneter berbeda yang diambil oleh sejumlah negara maju berkontribusi pada kondisi ketidakpastian perekonomian global dan berdampak pada negara berkembang sehingga perlu diwaspadai.
 
"Di satu sisi AS sedang melalukan stance untuk normalisasi penyesuaian bunga naik, sedangkan di ECB sedang melakukan Quantitative Easing. Itu divergensi kebijakan. Mereka sama-sama negara maju, yang satu melonggarkan yang satu mengetatkan. Ini berdampak ke negara berkembang di dunia," ujarnya di Kompleks BI, Jumat (4/12/2015).
 
Agus menuturkan otoritas moneter mewaspadai rencana The Fed yang akan menaikkan suku bunga acuannya pada Desember ini walaupun terdapat sinyal penaikan FFR dilakukan secara berkala atau gradual.
 
Menurut hasil kajian September, lanjutnya, FFR pada tahun ini diprediksi akan naik menjadi 0,25%. FFR akan kembali naik pada 2016 menjadi 1,25% dan 2,25% pada 2017.
 
"Kalau sekarang mendekati 0% ke 0,25% lalu menjadi 1,25% akan membuat ada periode dolar supercycle yaitu ada kecenderungan orang melihat dolar dan membuat mata uang dolar menguat. Ini yang diantisipasi dan perlu diwaspadai karena berdampak pada negara berkembang," tutur Agus.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper