Bisnis.com, PADANG - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memaksimalkan program revitalisasi secara berkelanjutan kepada seluruh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) guna menyelamatkan bank wong cilik ini dari kepailitan.
Kepala Perwakilan OJK Sumatra Barat Indra Yuheri menyebutkan program revitalisasi meliputi penguatan modal BPR hingga mencapai modal disetor minimal Rp3 miliar pada 2019 dan Rp6 miliar pada 2024.
Selain itu, menerapkan good corporate governance (GCG) dalam pengelolaan bank, terutama untuk BPR yang sudah memiliki modal disetor minimal di atas Rp6 miliar. Kemudian penguatan kompetensi SDM, meningkatkan kualitas layanan, dan pemanfaatan teknologi.
“Kami giatkan BPR untuk tambah modal, karena umumnya BPR di Sumbar memang modalnya kecil-kecil,” kata Indra kepada Bisnis.com, Jumat (29/7/2016).
Menurutnya, banyaknya BPR dengan modal yang masih kecil di daerah itu, membuat ekspansi perbankan kelompok tersebut sulit berkembang. Apalagi, BPR juga harus bersaing dengan bank-bank umum yang beroperasi di daerah.
Indra mengatakan dari 98 BPR yang ada di Sumatra Barat, sebanyak 32 BPR belum mencapai target modal inti minimal Rp3 miliar. Hanya 3 BPR yang sudah memiliki modal disetor di atas Rp6 miliar.
“Kalau melihat modalnya, seluruh BPR di Sumbar masih masuk kategori BPRKU I [BPR Kegiatan Usaha I dengan modal inti di bawah Rp10 miliar], artinya memang masih kecil dari sisi modal,” ujarnya.
Dia mengungkapkan BPR di daerah itu umumnya berasal dari lumbung piti nagari (LPN) atau lembaga keuangan simpan pinjam di tingkat desa atau nagari. Sehingga modalnya dimiliki perorangan atau kelompok masyarakat.
Adapun, OJK mengklaim kinerja BPR Sumbar sepanjang paruh pertama tahun ini cukup memuaskan di kisaran pertumbuhan 7,5%, dengan laju kredit bermasalah atau nonperforming loan/NPL di kisaran 7% - 10%.
“Dengan kondisi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya, secara umum kinerja BPR cukup memuaskan,” kata Indra.
Yerismal, Sekretaris Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Sumbar, menyebutkan sebagian besar BPR di daerah itu memang mengalami kesulitan modal, karena umumnya bermodal kecil dan rendahnya kemampuan pemegang saham untuk menambah modal.
“Sebagian besar memang modalnya kecil. Kami dorong pemilik BPR untuk meningkatkan modal, dan mencari investor untuk menambah modal BPR,” katanya.
Dia mengatakan Perbarindo masih mengestimasi pertumbuhan BPR daerah itu bisa menyentuh kisaran 15% - 17,5% tahun ini, jika mampu mengoptimalkan potensi di daerah.
Menurutnya, sektor perdagangan dalam bentuk usaha mikro dan kecil, ataupun toko kelontong menjadi prioritas penyaluran kredit, terutama di daerah pedesaan yang jauh dari akses bank umum.
Apalagi, sebagian besar BPR daerah itu beroperasi di kota-kota kecamatan yang potensial menggarap pasar-pasar tradisional, sehingga diyakini mampu meningkatkan laju pertumbuhan.
Selain perdagangan, sektor pertanian, dan jasa juga menjadi target BPR untuk mengejar target pertumbuhan. Meski begitu, porsi pembiayaan untuk kredit perkebunan dikurangi karena harga komoditas di pasaran yang tidak kunjung membaik.
“Perkebunan, khususnya karet dan sawit memang dikurangi dulu. Kasihan, harga tidak juga pulih, akan berpotensi meningkatkan kredit macet,” ujarnya.