Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jejak Panjang BCA: Pernah Diselamatkan Negara, Kini dalam Dekapan Djarum

Bank Central Asia (BCA) pernah diselamatkan pemerintah saat krisis 1997-1998 dan kini dimiliki Grup Djarum, dengan aset mencapai Rp1.466,75 triliun.
Pekerja beraktivitas di dekat logo milik PT Bank Central Asia Tbk di Jakarta. Bisnis/Himawan L Nugraha
Pekerja beraktivitas di dekat logo milik PT Bank Central Asia Tbk di Jakarta. Bisnis/Himawan L Nugraha
Ringkasan Berita
  • BCA pernah diambil alih oleh pemerintah melalui BPPN selama krisis 1997-1998 dan menjalani rekapitalisasi serta restrukturisasi.
  • Pada 2002, Konsorsium Farallon Capital membeli 51% saham BCA, yang kemudian beralih ke Grup Djarum melalui PT Dwimuria Investama Andalan.
  • Saat ini, Grup Djarum menguasai 54,94% saham BCA, menjadikannya salah satu bank terbesar di Indonesia dengan aset mencapai Rp1.466,75 triliun per Juli 2025.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA — Sejarah panjang Bank Central Asia (BCA) tidak hanya berisi catatan pertumbuhan sebuah bank, tetapi juga kisah tentang badai dan kejatuhan. 

Perusahaan tersebut bahkan pernah jatuh ke tangan pemerintah lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) saat badai krisis 1997 sampai 1998, ketika BCA sempat berada di ujung tanduk. Dari bank swasta terbesar, dia berubah status menjadi bank take over, duduk di meja operasi negara, menanti keputusan hidup dan mati. 

Dari berbagai informasi yang dihimpun, pada awalnya BCA berakar dari sebuah pabrik tekstil kecil bernama NV Perseroan Dagang dan Industrie Semarang Knitting Factory yang berdiri pada 1950-an. Perusahaan tersebut merupakan cikal bakal bank yang menjelma menjadi salah satu pilar industri di dalam negeri.

Saat itu, di tangan Liem Sioe Liong alias Sudono Salim, BCA resmi berdiri pada 21 Februari 1957. Bank ini kemudian bernaung di bawah Salim Group. Dari sana langkah-langkah awalnya mulai terentang, sebelum memasuki fase pertumbuhan yang kian pesat.

Deregulasi perbankan pada 1980-an memberi sayap baru ke perusahaan, kantong cabang pun menjamur dari Aceh sampai Papua, layanan teknologi informasi dirintis, dan Tabungan Hari Depan (Tahapan) lahir. 

Bank swasta ini berdiri gagah dengan nilai aset menjulang Rp41,2 triliun, sebuah angka yang kala itu terasa raksasa, saat rupiah masih jauh dari bayang-bayang Rp16.000 per dolar Amerika Serikat. 

Kejayaan itu menempatkan BCA bukan sekadar sebagai bank, melainkan simbol modernitas finansial. BCA menjelma menjadi bank rakyat urban, hadir di mal mewah sekaligus di perbelanjaan tradisional. 

Jejak Panjang BCA: Pernah Diselamatkan Negara, Kini dalam Dekapan Djarum

Karyawan melayani nasabah di salah satu kantor cabang BCA di Jakarta, Selasa (21/12/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Namun, di tengah gemuruh krisis 1997 sampai 1998, BCA yang semula berdiri kokoh pun terguncang. Arus penarikan dana besar-besaran menekan likuiditas, sementara ekspansi kredit yang gegap gempita menjelma bumerang. 

“Kami di-rush luar biasa. Lebih dari 35% dana pihak ketiga kami dikuras, ditarik,” kenang Mantan Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja yang kini menjabat sebagai Presiden Komisaris BCA, pada medio Juni 2020.

Dalam pusaran krisis, pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) turun tangan. BCA berubah status menjadi bank take over (BTO) dan dimasukkan ke dalam program rekapitalisasi serta restrukturisasi.

Awal Mula dan Titik Akhir Kepemilikan Pemerintah atas BCA

Tahun itu menjadi titik balik. Pemerintah, lewat BPPN mengambil alih kemudi. BCA yang dulu bebas berlayar di bawah naungan konglomerat, harus rela berlabuh di dermaga negara, menyandang status bank take over alias BTO, dan menjalani proses rekapitalisasi serta restrukturisasi layaknya operasi besar yang menentukan hidup dan mati. 

Tahun 1999, rekapitalisasi tuntas. BCA tak lagi sepenuhnya milik Salim Group. Saat itu BPPN menggenggam 92,2% sahamnya sebagai ganti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). 

Untuk pertama kalinya, bank yang tumbuh dalam dekapan konglomerasi, harus berbaring di meja operasi negara, sebagai pasien dari program restrukturisasi perbankan. Sejak saat itulah, kendali Grup Salim terlepas, hampir seluruh saham BCA beralih ke tangan pemerintah.

Pada 2000, BPPN mulai melepas BCA dari genggamannya sebanyak 22,5% saham BCA ditawarkan lewat pasar modal dalam penawaran saham perdana alias initial public offering (IPO). Sejak saat itu, porsi kepemilikan negara menyusut menjadi 70,3%.

Setahun berselang, BPPN kembali melangkah. Kali ini 10% saham dilepas melalui penawaran publik kedua, membuat kepemilikan pemerintah kembali turun menjadi 60,3%.

Panggung berikutnya muncul pada 2002. Dalam aksi divestasi besar-besaran, Bisnis mencatat Konsorsium Farallon Capital memborong 51% saham BCA senilai Rp5,6 triliun lewat tender strategic private placement. Inilah pengambilalihan terbesar dalam sejarah perjalanan bank tersebut. 

Merujuk dokumen resmi BCA, pada 2005, sisa kepemilikan negara pun dilepaskan. Saham terakhir sebesar 5,02% yang digenggam melalui PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) seluruhnya berpindah ke tangan swasta. Dengan itu, berakhirlah jejak pemerintah dalam kepemilikan BCA.

Transaksi ini menorehkan rekor terbesar dalam sejarah BPPN. Namun, jejak Farallon hanyalah sebuah prolog. Di balik tirai, perlahan tapi pasti, panji Grup Djarum mulai berkibar di cakrawala BCA.

Farallon Indonesia (Farindo) Investments dan PT Alaerka Investments berubah wajah menjadi PT Dwimuria Investama Andalan. Dua bersaudara dari Kudus, Bambang dan Robert Budi Hartono, tampil sebagai nakhoda baru. Dari penguasa rokok kretek legendaris, mereka menjejakkan kaki lebih dalam ke jagat finansial.

Sejak saat itu, arah BCA bergeser. Dari terpaan krisis, bank ini bangkit kembali di bawah kendali Grup Djarum. Tata kelola diperketat, prinsip kehati-hatian dijunjung tinggi. 

Kini, lewat Dwimuria Investama Andalan, Grup Djarum menjadi nakhoda di geladak BCA, menggenggam 54,94% saham hingga 19 Agustus 2025. Sementara, 42,46% sisanya tetap berlayar bebas di tangan publik. 

BCA mencatatkan aset hingga Rp1.466,75 triliun per 31 Juli 2025, sebuah lompatan jauh dari masa-masa krisis yang pernah membelitnya. Dari sebuah bank yang sempat jatuh ke pelukan negara, BCA menjelma menjadi bank raksasa bernilai aset ribuan triliun. 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro