Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Bisnis Tresuri dan Internasional PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Rico Rizal Budidarmo menilai pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tidak otomatis berdampak signifikan terhadap dana pihak ketiga (DPK) valuta asing (valas). Hal itu disebabkan oleh adanya ketentuan pembelian valas yang harus didasari dengan underlying.
Namun demikian, BNI telah menyiapkan strategi untuk melakukan antisipasi. “Menghadapi pelemahan nilai tukar dan menjaga stabilitas pertumbuhan DPK valas, maka pengelolaan DPK yang berasal dari hasil nasabah eksportir menjadi prioritas,” kata Rico kepada Bisnis, Rabu (5/9/2018).
BNI sendiri mencatat sejauh ini pertumbuhan DPK valas di atas industri. Dana valas didominasi oleh giro di mana pada umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan operasional.
Dikonfirmasi terpisah, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. David E. Sumual menilai simpanan valas cenderung tahan terhadap pelemahan rupiah. “Karena kebanyakan nasabah korporasi yang memang menggunakan untuk transaksi real, bukan cari untung,” katanya.
Akan tetapi tetap ada kemungkinan pada satu titik akan ada nasabah yang ingin mengonversi dolar Amerika Serikat ke rupiah. Saat ini mata uang rupiah sudah undervalue sekitar 7%—8%.
Adapun berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun ini pertumbuhan DPK valas tergolong melambat. Pertumbuhan hingga Juni 2018 sebesar 5,64% secara tahunan (yoy) menjadi Rp783,8 triliun. Padahal pada Juni 2017 pertumbuhan DPK valas mencapai 9,3% (yoy) menjadi Rp742 triliun.
Tabungan dan simpanan berjangka menjadi kontributor utama perlambatan pertumbuhan DPK valas. Pada tahun lalu keduanya tumbuh dua digit. Tabungan dan simpanan berjangka, masing-masing naik 11,5% dan 17,3% secara tahunan pada Juni 2017.
Tercatat, bahkan tabungan turun tipis atau 0,6%. Di saat yang sama simpanan berjangka hanya tumbuh 6,1%.
Sementara itu giro menunjukkan hal sebaliknya. Pertumbuhan tahunan per Juni 2018 7,9%, sedangkan periode yang sama tahun lalu 1,44%.