Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia 2015-2019 Darmin Nasution mengingatkan para stakeholder jasa keuangan agar kompak dan berkolaborasi dalam pemulihan ekonomi Indonesia pascapandemi Covid-19.
Darmin menekankan hal ini dalam diskusi Peluang dan Tantangan Industri Keuangan dengan Menakar Ketahanan dan Kekuatan di Babak Kenormalan Baru bersama Iconomics, Kamis (16/7/2020).
Pria yang pernah menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) ini mengungkap bahwa perhatian seluruh stakeholder terhadap tatanan dan struktur jaring pengaman sektor keuangan, merupakan kunci pemulihan ekonomi akibat krisis, terutama yang berasal dari luar.
"Kita mengalami krisis secara global yang tidak berasal dari dalam negeri itu sudah dua kali. Yang pertama pada 2008, ketika terjadi krisis keuangan global dari AS, saya sering menyebut itu krisis Kredit Pemilikan Rumah [KPR] abal-abal AS. Yang kedua, pandemi Covid-19 ini. Keduanya membawa kejutan karena benar-benar dari luar," ujarnya.
Darmin mengungkap sebenarnya tatanan dan struktur jaring pengaman sektor keuangan Tanah Air terbilang kuat. Namun, masih ada beberapa kekurangkompakan di beberapa lini yang harus mulai terpecah, terutama di ranah perbankan.
Menurutnya, perbedaan krisis akibat Covid-19 daripada krisis global sebelum-sebelumnya ada pada tingkat kesehatan tiap bank.
"Krisis moneter biasanya bergerak sama cepat, tapi kebanyakan menggerogoti bank sakit. Sementara di pandemi Covid-19 ini, bukan hanya bank sakit, tapi melumpuhkan semuanya," jelasnya.
Menurut pria kelahiran Tapanuli, 21 Desember 1948 ini, bank sebenarnya tidak terdampak langsung, tetapi akan terdampak dari melemahnya seluruh sektor riil terkait. Maka, Darmin tak kaget apabila banyak pihak yang berkata restrukturisasi kredit itu tak cukup sampai Maret 2021.
"Karena pada new normal ini, kita menjalani pemulihan ekonomi, justru akan dibutuhkan lagi dana oleh sektor riil. Kenapa? Karena setelah dia restrukturisasi selama puncak pandemi, ketika pemulihan ekonomi pasti diperlukan lagi likuiditas," ungkapnya.
Oleh sebab itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu memutar otal lebih keras untuk benar-benar mengawasi tiap entitas. Percuma apabila tatanan jaring pengaman sektor keuangan sudah baik, tapi eksekusinya tak optimal.
"Saya kira itu adalah sesuatu yang sangat berisiko membiarkan bank tetap hidup padahal dia sakit," tambahnya.
Pasalnya, Darmin menilai statistik keseluruhan yang diungkap OJK memang terlihat bagus. Data terakhir per Mei 2020 menunjukkan capital adequacy ratio (CAR) perbankan masih 22,1 persen, rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) pun masih 3,01 persen, di bawah ambang batas regulator sebesar 5 persen.
Serta pertumbuhan kredit yang masih 'oke' karena melambat secara bulanan, tapi bisa tumbuh 3 persen (year-on-year/yoy) dari periode sebelumnya karena bisa menyentuh angka Rp5,58 triliun pada Mei 2020.
"Surprise juga. Kalau dilihat jelas kita masih resilience. Persoalannya adalah indikator tersebut agregatif. Dia tidak menggambarkan setiap bank yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, secara dinamis analisisnya pasti berbeda," ungkapnya.
Mantan Direktur Jenderal Pajak periode 2006-2009 ini pun memberi masukan, dalam mengatasi hal ini, OJK tinggal bergandeng tangan lebih erat bersama Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).
Karena sesuai Peraturan Pemerintah No 33/2020, pemerintah telah memberikan kewenangan lebih kepada LPS dalam penyelamatan bank sakit (bank dalam pengawasan intensif/BDPI) dan penempatan dana pada bank yang kesulitan likuiditas.
Terakhir, selain kolaborasi antarlembaga, ada baiknya kini perbankan juga mulai membuka diri menjadi lebih kompak untuk sama-sama bertahan melawan dampak Covid-19, sehingga mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
"Di Indonesia pinjaman antarbank itu belum berjalan dengan baik. Antarbank trust-nya, kepercayaannya, tidak terlalu bagus. Makanya kalau tidak termasuk dalam kelompok atau hubungan, misalnya kelompok bank-bank besar, bank kecil lainnya akan sulit," ujarnya.