Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Metode Penyelamatan dan Likuidasi Bank Gagal Bakal Makin Efisien

Lembaga Penjamin Simpanan mengklaim langkah penyelamatan dan likuidasi bank gagal bisa kian efisien dengan opsi purchase and assumption serta bridge bank .
Ilustrasi/Bisnis-Endang Muchtar
Ilustrasi/Bisnis-Endang Muchtar

Bisnis.com, JAKARTA—Lembaga Penjamin Simpanan mengklaim langkah penyelamatan dan likuidasi bank gagal bisa kian efisien dengan opsi purchase and assumption serta bridge bank .

Adapun, dua opsi penyelamatan dan likuidasi bank gagal tersebut telah masuk dalam Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang diharapkan rampung pada akhir tahun ini.

Plt. Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan mengatakan sebelum menjadi tanggung jawab LPS, bank umum yang berpotensi gagal bakal masuk dalam pengawasan khusus Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk disuntik modal segar atau dicarikan investor baru.

Fauzi berujar, hingga kini belum ada indikasi bank umum yang gagal dan tak mampu ditangani OJK untuk kemudian menjadi wewenang LPS.  Selain itu, dari hasil kajian LPS menunjukkan permodalan bank secara industri masih mampu menyerap berbagai risiko yang muncul

Jikapun turbulensi di perekonomian Indonesia menyebabkan adanya bank gagal, lanjut Fauzi, LPS telah memiliki opsi penyelamatan dan likuidasi berupa penyertaan modal sementara. Namun, menurutnya perlu ada opsi lain yang bakal mengefisiensikan proses penyelamatan dan likuidasi bank gagal tersebut.

“Setidaknya dengan purchase and assumption dan bridge bank, tidak ada interupsi untuk penyelamatan dan likuidasi bank,” jelas Fauzi di Jakarta, Selasa (22/9).

Metode purchase and assumption, sebut Fauzi, merupakan best practice yang juga dilakukan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC). Melalui metode ini, LPS memiliki kewenangan untuk memisahkan aset dan kewajiban bank yang masih dalam kondisi baik untuk dijual kepada investor. Kemudian, untuk aset buruk, akan ditinggalkan untuk dilikuidasi.

Lalu, lanjut Fauzi, opsi bridge bank memungkinkan dibentuknya entitas baru yang bakal menangani aset dan kewajiban bank yang dapat diselamatkan. Adapun, kata dia, langkah ini dilakukan di Jepang.

Untuk bisa menggunakan dua metode tersebut, menurut Fauzi, pihaknya hanya perlu mengajukan melalui RUU JPSK tanpa perlu mengubah UU LPS. “Karena lewat pengesahan RUU JPSK, kemampuan LPS akan meningkat dengan sendirinya.”

Adapun, terkait opsi blanket guarantee untuk menjamin seluruh simpanan di bank, menurut Fauzi, tak mendesak dilakukan. Pasalnya, opsi tersebut umumnya direkomendasikan dalam keadaan krisis dan perlu berkoordinasi dengan pemerintah.

Selain itu, kata Fauzi, masih banyak tahapan yang bisa dilakukan sebelum memutuskan mengambil langkah tersebut seperti dengan menaikkan tingkat bunga penjaminan dan besaran nilai yang dijamin. “Banyak opsi sebelum blanket guarantee.”

Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk. David E. Sumual mengatakan metode purchase and assumption menjadi langkah pencegahan dini

“Paling tidak cost-nya diharapkan tidak sebesar biaya jika bank tersebut sudah gagal. Kalau dengan metode ini sudah dipisahkan mana yang bagus dan jelek, sehingga makin kecil kemungkinan menggelontorkan biaya yang lebih besar,” jelas David.

Chairman of FDIC periode 2006-2011 Sheila Bair mengatakan pihaknya menggunakan metode purchase and assumption untuk penyelamatan bank di Amerika sehingga nasabah tetap aman. “Pemegang saham, komisioner, dan direksi bank mungkin melakukan kesalahan, tapi kami tetap harus fokus pada nasabah,” jelas Sheila.

Menteri Keuangan Inggris periode 2007-2010 Alistair Darling mengungkapkan dalam krisis, hal utama yang perlu dijaga yakni kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Caranya, yakni dengan tetap menjaga posisi bank sentral sebagai lender of the last resort dan skema penjaminan simpanan. “Karena itu menunjukkan bahwa pemerintah mampu mengontrol secara penuh.”

Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2009-2014 Boediono mengatakan dalam masa krisis, koordinasi merupakan hal yang penting. Pasalnya, kondisi yang cepat berubah membutuhkan kecepatan dalam pengambilan keputusan.

“Ada banyak ketidakpastian selama proses pengambilan keputusan sehingga hal pertama dan penting yang harus dilakukan yakni meminimalkan ketidakpastian itu sendiri,” ujar Boediono.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper