Bisnis.com, JAKARTA – Pasar finansial global terus bergejolak beberapa pekan belakangan ini. Kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) per Maret 2018 memantik spekulasi kuat akan rentetan kenaikan Fed rate tiga kali lagi sepanjang tahun ini.
Tendensi ini disikapi para pelaku pasar dengan melepas aset berdenominasi nondolar AS. Akibatnya, hampir semua mata uang dunia mengalami tekanan, termasuk rupiah. Selama April (month-to-date), nilai tukar rupiah melemah 0,88% sehingga akumulasi depresiasi terhadap dolar AS sejak awal tahun (year-todate) tercatat 3,44%.
Tidak hanya itu, nilai tukar rupiah juga melemah terhadap beberapa mata uang lainnya.
Menyikapi kondisi ini, awalnya otoritas moneter, Bank Indonesia (BI), menganggap sebagai fenomena temporer.
Kebutuhan valuta asing secara tradisional senantiasa meningkat pada kuartal pertama, terutama untuk membayar dividen bagi investor asing dan pembayaran pinjaman yang jatuh tempo.
Faktanya, nilai tukar rupiah terus merosot hingga menembus batas psikologis Rp14.000 per dolar AS. Operasi moneter BI di pasar valuta asing belum cukup kuat untuk menahan pelemahan nilai tukar rupiah.
Sementara itu, cadangan devisa menyusut US$1,1 miliar hanya dalam tempo sebulan. Tampaknya, BI sudah “menyerah” menyusul pernyataan Gubernur BI yang mengakui nilai tukar rupiah sudah tidak lagi sejalan dengan kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini.
Artinya, tren pelemahan nilai tukar rupiah bukan lagi bersifat sementara dan tidak akan mereda dengan sendirinya. Merujuk pada angka inflasi, misalnya, laju depresiasi nilai tukar rupiah tercatat jauh lebih tinggi.
Produk domestik bruto pada kuartal pertama hanya tumbuh 5,01% secara tahunan bahkan pertumbuhan kuartalan minus 0,42%. Kinerja makro ekonomi tersebut di bawah ekspektasi sehingga tidak mampu memantik sentimen positif.
Dari neraca pembayaran, Indonesia mengalami defisit kembar (twin deficit). Neraca perdagangan Indonesia terpapar terbatasnya dana asing yang masuk ke pasar keuangan.
Akibatnya, surplus transaksi modal dan finansial berkurang dan tidak mampu menutup defisit transaksi berjalan. Jelasnya, pasokan dolar AS agak tersendat. Faktor fundamental di atas sepertinya lebih banyak menyorot sektor riil.
Hal ini bisa dimaklumi. Nilai tukar menunjukkan harga mata uang asing yang dinilai dengan mata uang domestik. Nilai valuta asing sebagai alat tukar (medium of exchange) akan bergerak sejalan dengan volume barang/jasa sebagai underlying-nya.
Pada kenyataannya, uang bisa dipakai sebagai media spekulasi untuk mendapatkan imbal hasil (return). Pertimbangannya, jika pegang uang tunai, pelaku ekonomi akan likuid untuk bertransaksi barang/jasa.
Namun, memegang uang cash tidak memberikan imbal hasil dibandingkan dengan jika disimpan di perbankan, misalnya. Artinya, suku bunga (domestik dan luar negeri) di sektor finansial menjadi determinan penting dalam menentukan nilai tukar.
Dalam konteks ini, dolar AS bisa bertindak layaknya ‘barang’ yang diperdagangkan di pasar. Pertukaran dolar AS-rupiah sama sekali tidak disertai dengan arus barang/jasa sehingga faktor fundamental bisa salah arah (misleading).
Lagi pula, rezim devisa bebas menghendaki masyarakat bisa memperoleh dan menggunakan devisa tanpa kewajiban melaporkannya. Pasar keuangan yang semakin terintegrasi mendorong transaksi finansial sulit dimonitor.
Komodifikasi uang semacam ini membuat nilai tukar bisa cepat naik dan bisa cepat pula turun.
OPSI PENYESUAIAN
Oleh karenanya, opsi penyesuaian suku bunga acuan, BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) adalah layak. Dalam skenario BI, kenaikan BI 7-DRRR bisa mengurangi suku bunga diferensial. Imbasnya, investor asing memiliki insentif menahan modalnya, likuiditas pasar finansial terjaga, dan nilai tukar rupiah stabil.
Hanya saja, tesis di atas masih bisa diperdebatkan. Proporsi paritas suku bunga (interest rate parity) menyarankan perubahan suku bunga acuan harus proporsional dengan ekspektasi perubahan kurs di masa mendatang. Untuk menjaga nilai tukar rupiah, BI tidak cukup hanya menaikkan BI 7-DRRR 25 basis poin.
Secara empiris, Pontines dan Siregar (2012) menunjukkan fleksibilitas nilai tukar meningkat secara signifikan hanya di satu segmen pasar. Jelasnya, BI tidak simetri mengakomodasi pergerakan nilai tukar. Upaya menghadapi tekanan apresiasi dolar lebih substansial daripada saat ada tekanan depresiasi.
Komplikasi muncul saat stabilitas inflasi dan nilai tukar hendak dicapai berbarengan. Keterkaitan inflasi dan kurs terangkum dalam exchange rate pass-through.
Riset Taguchi dan Sohn (2014) menyimpulkan derajad pass-through nilai tukar sangat lemah. Pergerakan nilai tukar rupiah tidak terwakili sepenuhnya oleh fluktuasi inflasi.
Dengan konfigurasi problematika di atas, beban BI 7-DRRR dalam mengawal rupiah sangat berat. Intinya, efektivitas BI 7-DRRR dalam mengontrol stabilitas rupiah senantiasa terkait dengan isu internal dan eksternal serta antara target stabilitas di sektor finansial dan stimulasi bagi sektor riil. Keterkaitan antara sektor finansial dan sektor riil masih akan diuji lagi.
The Fed diklaim akan mengetuk palu kenaikan Fed rate paling cepat pada Juni. Sementara itu, Rapat Dewan Gubernur BI akan berlangsung 16-17 Mei. Keputusan BI mengerek BI 7-DRRR bagi sektor finansial bisa jadi hanya berefek sesaat.
Upaya lain yang lebih ‘tegas’ mutlak diperlukan untuk menyelamatkan nilai tukar rupiah. Tanpa upaya tersebut, selama itu pula banyak energi akan terbuang percuma untuk meredam setiap gejolak eksternal dan/atau kenaikan Fed rate, alih-alih menanggulangi akar permasalahan di sektor riil.
Pada akhirnya, kenaikan BI 7-DRRR tanpa dibarengi kebijakan lain dihadapkan pada imbal korban (trade off) antara pertumbuhan atau stabilisasi. Risiko terberatnya adalah stabilitas rupiah tidak tercapai, sementara momentum pertumbuhan ekonomi domestik terlewatkan.
*) Penulis adalah Direktur Riset the Socio-Economic & Educational Business Institute
**) Artikel ini dimuat di koran Bisnis Indonesia edisi Kamis 17 Mei 2018