Bisnis.com, JAKARTA -- Masyarakat perlu mematangkan perencanaan keuangan dengan baik demi menyiasati peningkatan biaya hidup setelah pemerintah menerapkan kebijakan yang dinilai kurang kondusif karena menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi.
November 2014, ‘kantong’ masyarakat terusik oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang turut memengaruhi kenaikan tarif transportasi dan harga kebutuhan pokok. Kemudian, ada kebijakan lain yang sedang hangat diperbincangkan, yakni rencana pemberlakuan tarif baru pajak progresif kendaraan bermotor pada akhir 2014.
Risza Bambang, Perencana Keuangan yang juga menjabat chairman One Shildt Financial Planning, menyarankan kepemilikan aset kendaraan bermotor seyogyanya berkisar 15%-20% dari seluruh total aset yang dimiliki individu.
“Misalnya kalau punya total aset Rp300 juta, idealnya hanya baru punya motor saja, belum menggunakan aset mobil, kecuali tidak dari kocek sendiri seperti dari kantor,” ungkapnya kepada Bisnis, Rabu(26/11/2014).
Dia menjelaskan kendaraan bermotor adalah jenis aset dengan kecenderungan pergerakan harga yang semakin lama menyusut. Jika proporsi aset kendaraan bermotor terlalu signifikan hingga melebihi 20%, maka saat harga kendaraan merosot, total seluruh aset yang dimiliki juga ikut terkikis.
Padahal, seseorang idealnya memiliki aset dengan nilai yang terus bertambah seiring peningkatan kebutuhan hidup.
“Kita harus sepakat bahwa keluarga harus punya harta yang terus bertambah seiring penambahan usia menjadi tidak lagi produktif sehingga butuh rasa aman,” tuturnya.
Untuk itu, Risza menyarankan pembelian aset tanah atau rumah yang nilainya berpotensi menggelembung dibanding kendaraan bermotor.
Dari segi pemeliharaan, rumah membutuhkan biaya untuk pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB), listrik, air, sampah, dan biaya perawatan. Namun biaya itu akan tertutupi dengan adanya peningkatan harga aset.
Hal itu berbeda dengan aset mobil yang butuh perawatan teknis dan legalitas, kemudian sulit tergantikan oleh nilai penjualan aset yang justru mengalami depresiasi.
Kendati demikian, idealisme pengelolaan aset itu masih sulit diterapkan di Indonesia. Bagi masyarakat urban, pemilikan kendaraan dianggap sebagai kebanggaan (pride) yang sulit dilepaskan.
Di sisi lain, transportasi publik yang belum memadai menyebabkan kalangan menengah enggan berdesakkan di sarana umum.
“Di Indonesia tren pemilikan kendaraannya anomali, transportasinya belum baik, selain itu ada juga faktor pride bagi sebagian kalangan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi menjelaskan tarif pajak kepemilikan kendaraan bermotor pertama naik menjadi 2% dari semula 1,5% terhadap nilai jual kendaraan.
Tarif progresif pajak kepemilikan kendaraan bermotor kedua juga meningkat dari 2% menjadi 4%, sedangkan pajak kendaraan bermotor ketiga dikenakan tarif 6% dari sebelumnya hanya 2,5%.