Bisnis.com, BANDUNG - Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Herman Muchtar, menjelaskan potensi bisnis hotel Syariah di Kota Bandung cukup tinggi. Namun pengusaha enggan memilih bisnis ini karena minmnya minat konsumen terhadap hotel syariah.
“Peluang usahanya cukup besar. Tapi sayangnya belum banyak masyarakat mengerti mengenai perbedaan hotel syariah,” ujar Herman, saat dihubungi Tempo, Senin (22/6/2015).
Dia menjelaskan pengusaha hotel syariah mesti berani mengambil risiko karena memperoleh untung yang kecil. Konsumen memilih hotel konvensional karena telah mengerti prosedurnya.
Standar hotel ini memang lebih profesional dibandingkan hotel konvensional lainnya. Misalnya, konsumen mesti diperlihatkan bukti sertifikat halal terkait makanan yang disediakan manajemen hotel. Tak hanya itu, tamu lawan jenis pun tidak diperbolehkan menginap satu kamar tanpa keterangan menikah yang resmi.
Seharusnya, kata Herman, Kementerian Pariwisata meningkatkan sosialisasi standar hotel ini agar masyarakat mengerti mengenai baiknya hotel syariah.
Sebenarnya, katanya, hotel berstandar syariah saat ini tengah berkembang di daerah-daerah pariwisata. Di Jakarta dan Bali, hotel seperti itu mudah ditemukan.
Menurut pantauan Tempo, penampilan hotel syariah tak jauh berbeda dengan hotel lainnya. Seperti yang ditemui pada Hotel Rumah Tawa, Jalan Taman Cibuntut Selatan, Bandung.
Sebelum memasuki hotel ini, pengunjung akan disambut dengan pengumuman ‘Tidak menerima check-in tamu pasangan non menikah’.
Pemilik Rumah Tawa, Pan Supandi, mengaku dalam segi pendapatan bisnisnya kalah dibandingkan hotel konvensional lainnya. “Karena hotel konvensional benar-benar mencari laba. Sementara itu, kami masih memilih-milih konsumen,” katanya.
Semua pengunjung yang datang akan diperiksa kartu tanda penduduknya terlebih dulu. Jika mengaku suami-istri tetapi alamatnya berbeda, manajemen hotel akan menolaknya.
Terkadang, kata Pan, bawahannya pun kecolongan oleh pengunjungnya yang membawa pasangan lawan jenis. Terpaksa, petugas hotel akan menegur mereka dan meminta mereka pergi.
Meski memiliki peraturan yang ketat, Pan mengaku tak takut kehilangan pasar. “Kami sudah punya pasar sendiri. Semua pengunjung kami adalah orang baik-baik,” ujarnya.
Dia menjelaskan keuntungan yang dapat diambil bukan dari hasil sewa-menyewa kamar, melainkan hasil penambahan nilai aset. Pertama kali membeli lahan di Jalan Cibuntut Selatan, Bandung, ia merogoh kocek Rp1,1 miliar.
Pada saat ini, katanya, harga tanah itu bisa mencapai belasan miliar rupiah.
Cara mereka melayani pengunjung pun sedikit berbeda dibanding hotel umum lainnya. Pengunjung dibiarkan untuk bertindak layaknya di rumah. Misalnya, kata Pan, sejumlah tamunya memilih masak sendiri masakan mereka selama di hotel. Tamu-tamu langganan pun kerap membawa oleh-oleh dari kampung halamannya setiap mengunjungi Bandung. “Kami menciptakan persaudaraan yang baru,” kata Pan.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, Herlan J. Soemardi, mengatakan keberadaan hotel syariah sejauh ini sudah diminta pelancong asing dan domestik di Kota Bandung. “Saya sangat mendukung keberadaan hotel ini. Hotel standar syariah adalah pilihan jika pengunjung bosan dengan hotel bergaya konvensional,” kata Herlan.
Herlan menjelaskan telah mencoba banyak hotel-hotel syariah di Indonesia. “Saya sangat suka. Karena hotel ini menciptakan suasana kekeluargaan,” ujar dia. Meski menyukai, dia mengaku belum menyiapkan strategi apapun untuk meningkatkan pemasaran hotel syariah di Bandung.