Bisnis.com, JAKARTA - Tekad yang dibangun bersama antara pemerintah provinsi Sulawesi Utara, asosiasi pengusaha, serikat buruh, badan penyelenggara jaminan sosial serta badan koordinasi penanaman modal daerah untuk mempercepat kepesertaan pekerja dalam program jaminan sosial memasuki babak baru.
Ini terutama terbangun pasca penandatanganan kesepakatan bersama antar-stakeholder tersebut. Harapannya, tentu ini tidak sekadar seremonial. Masih banyak target yang harus dicapai.
Bayangkan, dari jumlah angkatan kerja yang mencapai 1,18 juta orang (data Badan Pusat Statistik [BPS], Februari 2016) di Sulawesi Utara, belum sampai 68.000 tenaga setempat yang menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS TK).
Lebih jauh, sesuai data Kanwil BPJS Ketenagakerjaan Sulawesi—Maluku, kepesertaan tenaga kerja dan perusahaan di Sulut menjaring 4.012 perusahaan aktif penerima upah. Sementara itu, tenaga kerja aktif penerima upah mencapai 65.363 pekerja, serta tenaga kerja aktif bukan penerima upah sebesar 2.538 pekerja.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulawesi Utara mengklaim rendahnya kepesertaan jaminan sosial bagi pekerja, disebabkan masih banyaknya perusahaan informal—kecil menengah yang mendaftarkan diri. Fakta ini juga diakui oleh Kepala Kantor Wilayah BPJS Ketenagakerjaan Sulawesi—Maluku Kuswahyudi, yang meyakini gencarnya sosialisasi dan edukasi menjadi kunci.
Jika merujuk pada Pasal 15 Undang-undang No.24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, disebutkan bahwa; pemberi kerja (perusahaan) secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti. Sayangnya, ini beleid ini belum benar-benar dipatuhi.
Saat ditanyakan tindak lanjut pemda untuk meningkatkan kepesertaan tenaga kerja dalam program jaminan sosial, Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey menyatakan belum akan menerbitkan beleid khusus untuk mempercepat kepesertaan pemberi kerja. “Kan sudah diatur dalam peraturan undang-undang, kami mengacu ke sana dulu. Sekarang fokus kami mengajak mereka yang belum bergabung, dengan sosialisasi dan edukasi,” katanya.
Edukasi dan sosialisasi, menjadi pekerjaan rumah bersama yang seakan tidak berujung. BPJS Ketenagakerjaan Wilayah Sulut Januar Hermawan berpendapat informasi mengenai manfaat kepesertaan BPJS sudah diketahui pekerja maupun perusahaan. Sayangnya, penegasan pemda dinilai sebagian pihak kurang mampu ‘memaksa’ pemberi kerja di wilayah setempat untuk mematuhi aturan yang ada.
Soal sosialisasi, Januar memberi contoh pihaknya telah telah memberi penyuluhan kepada nelayan di Bitung, menyosialisasikan program dengan jemaat Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) yang memiliki 1 juta jemaat di Sulut. “Kalau bicara target, maunya tahun ini semuanya jadi peserta. Sekarang yang diperlukan itu, ketegasan dari pemerintah daerah,” katanya.
Upaya BPJS Ketenagakerjaan tak pernah surut. Bahkan di Sulawesi dan Maluku sendiri, sudah 50% dari total 98 kabupaten/kota dan dari delapan provinsi diminta untuk mengeluarkan beleid sejenis instruksi kepala daerah guna mempercepat keikutsertaan perusahaan dalam program ini.
Namun, apa daya. BPJS tentu tak bisa berjalan sendiri. Mutlak dibutuhkan sinergi antarsektor dan instansi. Kekompakan belum terwujud di lapangan. Di sisi lain, komitmen dunia usaha untuk taat pada kebijakan pemerintah sebenarnya ada.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulut yang juga Ketua DPRD Sulut Andrei Angouw mengatakan pelaku usaha di bawah naungan asosiasi telah mengikuti aturan pemerintah. “Kalau mereka tahu manfaatnya pasti bergabung. Perlahan tapi pasti ikut semua kok,” katanya.
Usut punya usut, ternyata sebagian pelaku usaha mengharapkan terbitnya beleid turunan perundang-undangan yang menjelaskan kemudahan yang bakal diterima perusahaan untuk mengakses program jaminan sosial di daerah. Bukan sekadar sanksi.