Mengapa pluralisme adalah jalan rezeki? Saya punya pengalaman 25 tahun sebagai profesional. Selama bekerja, bos senior saya kebanyakan muslim. Kenyataan populasi Indonesia lebih dari 80% adalah muslim. Otomatis kerja bareng senior muslim.
Akan tetapi, berikutnya saya pernah kerja pada konglomerat. Mereka kebanyakan etnis Tionghoa. Ada juga yang keturunan Belanda.
Nah, di situ kadang saya merasa sedih.
Saya bukan orang kaya, karyawan biasa. Dalam pemikiran, saya bertanya apakah saya berbeda dengan konglomerat? Jawabnya, ya beda lah, beda kelas, beda gaya hidup. Mobilnya juga beda. Tapi, apakah saya lalu membedakan diri saya? Memisahkan diri saya dengan konglomerat? Tentu tidak. Saya coba mendekatkan diri.
Nah, di situ kadang saya merasa sedih.
Saya melihat masyarakat banyak yang memojokkan konglomerat. Hasilnya ya seperti Rangga dan Cinta, terpisah ratusan purnama.
Lalu, mengapa pluralisme adalah sumber rejeki?
1. Di mana pun, piramida masyarakat yang di atas adalah minoritas. Di Jogjakarta yang di atas Raden Roro, Raden Ayu, mereka bukan mayoritas. Mereka bangsawan.
2. Bisnis timbul dasarnya perbedaan. Ada susu coklat Belanda atau Belgium disukai di Indonesia.
Saya sendiri pengalaman 5 tahun expor impor. Dengan Dubai, Istanbul, Gaziantep, Germany, France, Spain sampai sekarang kami masih berhubungan baik.
