Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, rencana penurunan bunga kredit usaha rakyat menjadi 7% belum tentu efektif meningkatkan akses pelaku usaha mikro.
“Penurunan suku bunga KUR itu belum tentu efektif untuk tumbuhkan pelaku UMKM baru. Betapa keterbatasan terhadap akses kredit bank bagi pelaku UMKM itu luar biasa,” tuturnya kepada Bisnis, Senin (25/9/2017).
Terlebih, sejalan dengan menurunnya produktivitas sektor riil, rasio kredit bermasalah (NPL) berpeluang meningkat. Guna menjaga NPL maka bank melakukan restrukturisasi. Hal ini, disinyalir berujung kepada distribusi kredit yang berkutat kepada debitur yang itu-itu saja.
Enny menjelaskan, apabila KUR memang terbukti ampuh dalam meningkatkan akses pelaku UMKM terhadap layanan bank seharusnya kenaikan nominal KUR yang disalurkan setiap tahun sejalan dengan pertumbuhan industri mikro dan kecil.
“Kalau dikonversi dengan pertumbuhan industri mikro kecil, ternyata tidak signifikan. Dari sisi pelaku usaha mikro dan kecil selama ini tetap kesulitan memenuhi persyaratan kredit konvensional dari bank, kendalanya terutama aspek legalitas,” ujar Enny.
Guna menjawab tantangan peningkatan akses pelaku UMKM terhadap KUR, imbuh dia, opsinya dapat ditempuh dengan menggiatkan linkage antara bank-bank besar penyalur KUR dengan koperasi maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Kementerian Koperasi dan UKM saat ini sedang menyusun konsep perubahan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tentang Pedoman Pelaksanaan KUR. Pembahasan ini dilakukan melalui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
Revisi tersebut memuat penurunan suku bunga KUR dari 9% menjadi 7%. Selain itu, guna mendorong peningkatan jumlah debitur baru, khususnya yang berasal dari kalangan pengusaha pemula, dibuat skema penyaluran kredit melalui kelompok usaha dengan sistem pembayaran tanggung renteng.