Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KARTU UANG ELEKTRONIK: Duit Tak Bertuan, Buat Apa?

Terlepas dari penggunaan uang elektronik yang sudah makin menjamur, ada satu persoalan yang dipertanyakan, bagaimana dengan nasib uang dari kartu-kartu uang elektronik yang tidak bertuan? Mau diapakan?
Pengendara truk membeli kartu elektronik tol (E-Toll) di loket pintu masuk Jembatan Suramadu, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (31/10). Terhitung mulai Selasa (31/10)./ANTARA-Didik Suhartono
Pengendara truk membeli kartu elektronik tol (E-Toll) di loket pintu masuk Jembatan Suramadu, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (31/10). Terhitung mulai Selasa (31/10)./ANTARA-Didik Suhartono

Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat, khususnya di perkotaan, bisa dibilang sudah sangat akrab dengan uang elektronik berbasis kartu. Apalagi sejak masifnya gerakan nontunai dalam 2 tahun terakhir.

Puncaknya terjadi saat diberlakukannya program elektronifikasi jalan tol pada Oktober lalu dengan pembayaran jalan tol seluruh Indonesia diwajibkan memakai kartu uang elektronik.

Terlepas dari penggunaannya yang makin menjamur, ada satu persoalan yang dipertanyakan. Bagaimana dengan nasib uang dari kartu-kartu uang elektronik yang tidak bertuan? Mau diapakan?

Bukan rahasia bahwa uang di dalam kartu elektronik tersebut tidak dapat diklaim saat hilang. Hal ini pernah dialami oleh Bambang Haryo Soekartono, anggota Komisi XI DPR yang membidangi industri, investasi dan persaingan usaha.

Ketika Rapat Dengar Pendapat dengan direksi bank-bank pelat merah di kompleks DPR, Rabu (31/1/2018), politisi dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu bercerita bahwa dirinya pernah mengisi saldo kartu uang elektronik miliknya senilai Rp250.000.

Tak berapa lama, kartu itu hilang. “Sampai sekarang saya tidak bisa mengurus lagi, dan [uang di dalamnya] itu kan tentunya sudah jadi milik perbankan,” katanya.

Bambang pun gencar menanyakan bagaimana kejelasan uang dari orang yang bernasib sama. “Duit yang tidak bertuan itu siapa yang memiliki dan jumlahnya berapa?”

Segendang sepenarian, beberapa anggota Komisi VI lainnya juga melemparkan tanya serupa. Kecurigaan muncul karena bank berpeluang menggunakan uang-uang tersebut sebagai dana segar untuk diputar demi mendapatkan untung.

Wajar saja timbul rasa curiga, sebab potensi uang yang mengendap ditengarai cukup tinggi. Data Statistik Sistem Pembayaran Bank Indonesia menunjukkan jumlah kartu uang elektronik yang beredar per Oktober 2017 mencapai 75,84 juta keping kartu.

Dengan perkiraan kasar rata-rata saldo uang yang ditambahkan ke dalam kartu tersebut sekitar Rp100.000 untuk pemakaian sebulan, nilainya sudah mencapai Rp7.584,6 triliun.

Tentu saja nilainya berpotensi lebih besar, terutama untuk nasabah dengan aktivitas berbiaya tinggi seperti pembayaran jalan tol. Apalagi, aturan Bank Indonesia juga memperbolehkan seseorang melakukan top up dengan nilai maksimal sebesar Rp1 juta per kartu.

Jumlah kartu yang dicetak oleh empat bank pelat merah tahun lalu berjumlah total sekitar 23,7  juta keping kartu.

“Perkiraan kasar ada sekitar Rp700 miliar dana yang mengendap saat ini,” kata Tiko, sapaan akrab Direktur PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Kartika Wirjoatmodjo.

Hanya saja, dia menegaskan, dana tersebut tidak dapat diutak-atik bank demi mendapatkan bunga lewat penempatan ke surat berharga maupun disalurkan kembali dalam bentuk kredit.

Menurut Tiko, karakteristik dana kartu uang elektronik merupakan kewajiban segera yang tidak boleh dipinjamkan. Nasabah juga tidak mendapatkan bunga dari dana tersebut sebab tidak diperhitungkan sebagai dana pihak ketiga (DPK).

“Memang uang elektronik ini adalah dana prepaid wallet nasabah yang disimpan di server kami, tetapi itu oleh BI diterjemahkan sebagai kewajiban segera, jadi tidak boleh digunakan untuk pendanaan kredit maupun diinvestasikan di aset lain. Ini juga belum menjadi DPK sehingga tidak ada bunga dari uang yang mengendap itu,” ujarnya.

Isu kartu yang hilang tersebut, kata Tiko, lebih pada perlindungan konsumen. Mengingkat konsep e-money merupakan pengganti uang cash, maka nasabah perlu lebih berhati-hati dalam menjaganya.

Duit Hangus

Sekali kartu hilang, dana di dalamnya juga akan ikut hangus, kendati pada dasarnya masih tersimpan di bank.

“Ini berbeda dengan kartu debit yang dananya ada tabungan di belakangnya. Memang kami harus sosialisasikan ke publik bahwa kalau kartunya itu hilang, ya sudah, itu tidak tercatat milik siapa,” ujar Tiko.

Bank Mandiri merupakan salah satu penerbit kartu uang elektronik dengan pangsa pasar terbesar. Per akhir 2017 lalu, jumlah kartu uang elektronik Bank Mandiri dengan merek E-Money mencapai 13,2 juta keping kartu.

Penerbit kartu dengan pangsa pasar cukup besar lainnya yakni PT Bank Central Asia Tbk dengan jumlah sekitar 13 juta keping kartu bermerek Flazz.

Senada dengan Tiko, menurut Direktur Bank BCA Santoso Liem dana di kartu uang elektronik diperlakukan seperti uang tunai. Dengan kata lain, akan sulit bagi bank mengembalikan dana bila kartu tersebut hilang.

Karena itu arah pengambangan saat ini ke produk kartu uang elektronik berbasis kartu. Bank yang berafiliasi dengan Grup Djarum itu  telah meluncurkan produk alat pembayaran berbasis server yakni Sakuku, dua tahun yang lalu.

“Jika kartu uang elektronik card base seperti Flazz hilang, tidak bisa diblokir. Tapi kalau server base masih bisa di-handle sepanjang PIN-nya tidak diketahui orang lain. Contoh server base seperti Sakuku,” ujarnya.

Kembali ke persoalan dana mengendap, Santoso tak menampik adanya dana-dana tak bertuan. Hanya saja dia mengaku tidak memiliki angkanya.

Perbankan pernah mengajukan wacana agar dana di kartu uang elektronik diperlakukan sebagai dana pihak ketiga. Dengan begitu bank dapat mengelola dan nasabah akan mendapatkan bunga.

“Sesuai ketentuan, kami tidak bisa gunakan untuk keperluan kredit. Itu dana standby untuk sewaktu-waktu dicairkan,” kata dia.

Sementara itu, Tiko justru berpandangan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang membuat bank dapat mengelola dana-dana mengendap tersebut bila sudah tidak digunakan oleh nasabah dalam jangka waktu tertentu.  

“Memang perlu ada kebijakan dari BI agar dana-dana yang mengendap karena kartu hilang ini dalam jangka panjang nantinya tindakan apa yang boleh dilakukan, apakah itu dapat diakui sebagai pajak atau dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk CSR [corporate social responsibility],” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ropesta Sitorus
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper