Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah perlambatan pertumbuhan kredit, bank bersaing ketat dalam menghimpun dana karena penurunan ekonomi dampak dari virus corona (Covid-19). Akibatnya, beban bunga atau suku bunga simpanan diproyeksikan bakal meningkat.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan beban bunga sektor perbankan cenderung meningkat dalam 3 tahun terakhir. Khususnya, pada akhir 2019, beban bunga perbankan tumbuh sekitar 20 persen dibandingkan dengan tahun lalu (year-on-year/yoy).
Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh kenaikan beban bunga kepada pihak ketiga (DPK). Setidaknya, dari beban bunga yang dibayarkan untuk dana pihak ketiga (DPK), beban bunga simpanan berjangka atau deposito berkontribusi sekitar 75-77 persen dari total keseluruhan.
"Beban bunga, khususnya pada tahun 2020 ini, berpotensi meningkat di tengah ekspektasi perlambatan pertumbuhan kredit perbankan sejalan dengan ekspektasi melambatnya pertumbuhan ekonomi domestik yang terdampak oleh Covid-19," katanya kepada Bisnis, Senin (27/4/2020) malam.
Menurutnya, potensi peningkatan bunga perbankan juga mengindikasikan risiko likuiditas perbankan yang cenderung mengetat. Pasalnya, kebijakan pemerintah terkait pelebaran defisit APBN pada tahun ini berpotensi mendorong peningkatan penerbitan surat berharga negara (SBN).
Berdasarkan Kementerian Keuangan, demi mendanai APBN dalam rangka penanganan Covid-19, pemerintah berencana untuk menerbitkan tambahan sekitar Rp160 triliun untuk SBN biasa dan Rp450 triliun untuk Pandemic Bonds.
Baca Juga
"Peningkatan SBN berpotensi meningkatkan risiko peralihan dari dana deposito ke surat utang negara yang pada akhirnya berpotensi mendorong mengetatnya likuiditas perbankan," katanya.
Dengan berlimpahnya pasokan SBN, maka bunga premi dari obligasi korporasi tentunya akan meningkat. Hal ini kemudian diperparah oleh masih volatilnya pasar obligasi Indonesia, seiring dengan kecenderungan investor untuk mencari safe haven assets.
Pada akhirnya, perbankan pun akan lebih mengoptimalkan sumber pendanaan dari DPK. Namun, hal ini akan cenderung akan mendorong peningkatan beban bunga perbankan.
"Alternatif pembiayaan melalui obligasi sebaiknya cenderung dihindari di jangka pendek, namun ketika pasar keuangan sudah mulai pulih, alternaif pembiayaan melalui penerbitan surat berharga ini layak dilakukan demi mengelola ketersediaan likuiditas," katanya.
Selain itu, kondisi likuiditas perbankan yang mengetat tersebut juga dipengaruhi oleh kebijakan restrukturisasi yang dikeluarkan oleh OJK. Relaksasi restrukturisasi kredit ini bertujuan untuk menjaga kualitas aset perbankan kendati juga akan berpengaruh pada likuiditas perbankan.
Di sisi lain, kondisi likuiditas perbankan akan diharapkan akan dapat terjaga lewat berbagai kebijakan Bank Indonesia seperti penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), operasi moneter melalui penyediaan term-repo, serta tidak memberlakukan kewajiban tambahan Giro untuk pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM).