Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kewenangan Penempatan Dana, LPS Harus Mitigasi Risiko Moral Hazard

Atas permintaan bank bermasalah dan OJK, LPS dapat melakukan penempatan dana di bank tersebut walau belum gagal. Risiko moral hazard bisa diperkecil dengan keterlibatan OJK dan BI dalam persetujuan, serta persyaratan jaminan (termasuk personal guarantee pemilik bank) dan lending-limit yang ketat
Fauzi Ichsan/Youtube
Fauzi Ichsan/Youtube

Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harus memiliki strategi dalam menanggulangi risiko moral hazard, seiring peran lembaga tersebut yang diperluas dari Otoritas Bank Gagal menjadi pemasok likuiditas bank yang belum gagal.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ekonom Senior yang juga Kepala Eksekutif LPS Periode 2015-Januari 2020, Fauzi Ichsan, dalam diskusi online bertajuk "New LPS, Bank Jangkar dan Perbankan", Jumat (17/7/2020).

“Atas permintaan bank bermasalah dan OJK, LPS dapat melakukan penempatan dana di bank tersebut walau belum gagal. Risiko moral hazard bisa diperkecil dengan keterlibatan OJK dan BI dalam persetujuan, serta persyaratan jaminan (termasuk personal guarantee pemilik bank) dan lending-limit yang ketat,” kata Fauzi.

Menurutnya, hal ini dilakukan untuk mengurangi risiko bank tetap gagal bayar dan harus ditangani LPS, sehingga nantinya akan membutuhkan biaya penanganan yang besar.

Dalam memilih opsi resolusi bank gagal, lanjut Fauzi, LPS diharapkan tidak hanya mempertimbangkan opsi termurah (leats-cost-test/LCT) tapi juga aspek lainnya seperti kondisi perekonomian, kompleksitas bank, waktu penanganan dan ketersediaan investor. Namun, LPS membutuhkan masukan atas biaya ekonomi di luar perhitungan LCT.

Seperti diketahui, untuk menambah sumber likuiditas, Pemerintah menerbitkan PP No. 33 Tahun 2020, yang memperluas kewenangan LPS. Peraturan tersebut diundangkan pada 7 Juli 2020. Sesuai regulasi itu, LPS bisa menyuntikkan dana pada bank yang kesulitan likuiditas dengan batas tertentu dan kriteria tertentu.

Prasyarat yang diberikan yaitu total limit penempatan ke perbankan 30 persen dari aset LPS, limit penempatan per bank individu 2,5% dari aset LPS, dan tenor 1 bulan bisa di-roll-over untuk maksimum 5 bulan.

Adapun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menganalisa kemampuan bank untuk membayar kembali dana LPS sebelum meminta penempatan. Nantinya, pengembalian dana LPS dijamin pemilik bank dan LPS bisa menolak permintaan penempatan dana, serta implikasinya jalur resolusi normal dijalankan.

“UU LPS menentukan penempatan dana di perbankan sebagai kebutuhan operasional (misalnya dalam antisipasi biaya resolusi bank gagal), bukan bantuan likuiditas ke bank bermasalah. PP No. 33 Tahun 2020 berpayung pada UU No 2 Tahun 2020, di mana LPS adalah Otoritas ikut yang menangani krisis ekonomi Covid-19 dan menjaga SSK secara antisipatif/ preventif,” papar Fauzi.

Jka bank bermasalah tidak memenuhi prasyarat LPJP Bank Indonesia (BI), lanjut Fauzi, persyaratan LPS akan dituntut lebih lunak agar bank bermasalah dapat dana LPS. Kemudian jika 6 bulan setelah penempatan dana LPS, bank belum bisa akses ke pasar antar-bank, maka LPS terpaksa memperpanjang penempatan.

Menyingung soal bank jangkar, Fauzi Ichsan mengungkapkan bank jangkar ditunjuk sebagai bank yang menerima penempatan dana pemerintah untuk disalurkan ke debitur, khususnya bank kecil dan UKM. Namun menurutnya, pemberian pinjaman dari bank jangkar ke debitur, tetap harus memenuhi prasyarat manajemen risiko.

“Dalam pemberian pinjaman dari bank jangkar yang sudah ditunjuk pemerintah, bank tetap harus memenuhi syarat-syarat yang sudah diberikan. Sementara rata-rata LDR bank jangkar relatif rendah dan cukup likuiditasnya untuk penyaluran kredit. Dengan kenaikan NPL dan credits-at-risk, bank akan lebih konservatif walau likuiditasnya aman,” urainya.

Seperti diketahui, OJK mengumumkan bahwa bank-bank yang selama ini menjadi supplier di pasar uang antar bank (PUAB) akan menjadi bank jangkar (bank anchor). Kriteria yang dimiliki harus sesuai dengan PP No. 23 Tahun 2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka mendukung kebijakan keuangan negara untuk penanganan Covid-19.

Dalam hal ini ada tujuh bank yang telah memiliki kriteria tersebut di antaranya adalah bank yang masuk dalam golongan Bank Himbara yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Bank Mandiri, PT Bank Negara Indonesia (BNI), dan PT Bank Tabungan Negara (BTN). Kemudian, PT Bank Central Asia (BCA), PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat (BJB), dan PT Bank Mandiri Syariah (BSM).

Hingga saat ini pemerintah Indonesia terus memaksimalkan pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid - 19, melalui anggran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp695 triliun. Pelaksanaan PEN dilakukan dengan PMN, Penempatan Dana, Investasi Pemerintah, dan Penjaminan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Azizah Nur Alfi
Editor : Ropesta Sitorus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper