Bisnis.com, BALI - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) meyakini likuiditas perbankan pada 2023 tetap tangguh, meski resesi dan kenaikan suku bunga acuan menghantui.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa meyakini likuiditas perbankan ke depan dapat dikendalikan dengan baik. Mengingat perbankan telah melalui dan mampu mengatasi paceklik likuiditas saat pandemi Covid-19 tahun 2020.
"Pengalaman 2020 awalnya [likuiditas] sempat kering, tapi kita berhasil balik pada pertengahan tahun dan sekarang kita lihat kebijakan moneter serta fiskalnya itu amat baik dari sisi likuiditas," ujar Purbaya ketika ditemui di Nusa Dua, Bali, Rabu (9/11/2022).
Dia menyampaikan tangguhnya likuiditas perbankan tercermin dari Monetary Base (M0) atau jumlah uang beredar di pasar yang menunjukkan tren pertumbuhan.
Purbaya mengatakan saat ini MO tumbuh 22 persen secara tahunan. Pertumbuhan tersebut menunjukkan bahwa uang atau dana sudah berada di dalam sistem.
"Kalau kita lihat pertumbuhan M0 tumbuhnya terakhir 22 persen, itu cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 6 persen sebetulnya kalau belanja fiskal kita juga bagus," tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,72 persen pada kuartal III/2022 merupakan hasil dari rancangan pemerintah. Untuk itu, dia meyakini Indonesia mampu meredam segala dampak global pada tahun depan.
Menurut Purbaya, dampak global pasti akan memengaruhi ekonomi dalam negeri. Namun, jika Indonesia fokus pada permintaan dalam negeri, ekonomi diperkirakan masih bertumbuh 4,6 persen pada 2023.
"Jadi resesi bisa kita hindari, krisis apalagi. Siklus ekonomi kita 7 tahunan, kita baru resesi tahun 2020 dan keluar pada 2021, harusnya tahun 2027 atau 2028 kita masih bisa ekspansi," pungkasnya.
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga terus berupaya mencermati sekaligus memitigasi potensi risiko yang dapat memberikan dampak terhadap kinerja industri keuangan.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan tren kenaikan suku bunga acuan bank sentral global disertai penguatan dolar Amerika Serikat (AS) hingga volatilitas harga komoditas, dapat memengaruhi kinerja lembaga jasa keuangan dari sisi portofolio investasi, likuiditas, risiko kredit, dan fungsi intermediasi.
“Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan di tengah meningkatnya risiko eksternal, OJK akan proaktif memperkuat kebijakan prudensial di sektor jasa keuangan," tutur Mahendra.