Bisnis.com, JAKARTA – Data statistik Otorita Jasa Keuangan (OJK) mencatat jumlah hasil investasi industri asuransi jiwa syariah per Februari 2025 rugi sebesar -Rp403,36 miliar. Angka tersebut berbanding terbalik dengan periode Februari 2024 di mana jumlah hasil investasi industri syariah tercatat sebesar Rp177,22 miliar.
Praktisi Manajemen Risiko dan Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) Wahyudin Rahman mengatakan data tersebut menunjukkan volatilitas pasar investasi memukul hasil investasi asuransi jiwa syariah yang menyebabkan kerugian besar.
"Selain itu, beban klaim dan operasional meningkat, mempersempit margin keuntungan hingga minus," kata Wahyudin kepada Bisnis, dikutip Sabtu (10/5/2025).
Selaras dengan hasil investasi yang negatif, per Februari 2025 industri asuransi jiwa syariah mencatatkan rugi setelah pajak sebesar Rp180,02 miliar, berbalik arah dari periode Februari 2024 saat mencatat laba setelah pajak sebesar Rp199,68 miliar.
Wahyudin menyoroti kondisi berbeda terjadi di asuransi umum syariah. Menurutnya, asuransi umum terlihat masih lebih resilien. Per Februari 2025, jumlah hasil investasi asuransi umum syariah tercatat sebesar Rp63,19 miliar, tumbuh 22,6% secara tahunan atau year on year (YoY).
Sementara itu, laba setelah pajak industri asuransi umum syariah per Februari 2025 tercatat sebesar Rp79,88 miliar. Meski masih positif, angka itu terkoreksi sebesar 20,7% YoY dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Baca Juga
Merujuk indikator kinerja lainnya, usaha asuransi jiwa syariah per Februari 2025 tercatat mengalami rugi sebesar Rp542,66 miliar. Sebaliknya, usaha asuransi umum syariah mencatatkan laba usaha asuransi sebesar Rp55,61 miliar, meskipun mengalami kontraksi cukup dalam sebesar 51,9% YoY.
Mengacu pada indikator-indikator kinerja industri asuransi syariah tersebut, Wahyudin menilai industri ini masih memiliki skala yang kecil dan masih kurang melakukan diversifikasi produk.
"Kesiapan manajemen risiko dan pengelolaan aset syariah terlihat belum optimal, terutama pada full-fledged (berdiri sendiri) yang punya skala kecil dan kurangnya diversifikasi produk dan penetrasi yang rendah menyebabkan ketergantungan pada lini bisnis tertentu," pungkasnya.