Bisnis.com, JAKARTA – Data statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kinerja asuransi jiwa syariah per Februari 2025 mengalami rugi sebesar Rp542,66 miliar. Kondisi itu berbalik dari laba usaha sebesar Rp121,51 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Sementara itu, laba usaha asuransi umum syariah per Februari 2025 tercatat mengalami kontraksi 52% secara tahunan atau year on year (YoY) menjadi Rp55,61 miliar, dibandingkan laba usaha asuransi per Februari 2024 sebesar Rp115,78 miliar.
Merespons hal itu, Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Iwan Pasila mengatakan industri asuransi syariah di Indonesia sebenarnya punya peluang besar untuk dikembangkan. Atas situasi yang terjadi di awal tahun ini, Iwan melihat perlu dilihat dari proyeksi jangka panjang.
"Lihatnya harus dalam skenario besar, tapi harus adaptif juga dengan kondisi yang mempengaruhi. Kondisi global saat ini memang sangat mempengaruhi kinerja saat ini, tapi bukan berarti potensi pasar jadi hilang," kata Iwan kepada Bisnis, Kamis (8/5/2025).
Tidak cuma dari kinerja usaha yang memburuk, laba setelah pajak industri asuransi syariah juga menunjukkan koreksi. Laba setelah pajak asuransi umum syariah per Februari 2025 mengalami kontraksi 20,7% YoY menjadi Rp79,88 miliar.
Sementara itu, pada industri asuransi jiwa syariah bahkan mencatatkan rugi setelah pajak sebesar Rp180,02 miliar, setelah pada periode yang sama pada 2023 mencatatkan laba setelah pajak sebesar Rp199,68 miliar.
Baca Juga
Iwan memaklumi kondisi industri saat ini, di mana pada saat yang sama kondisi ekonomi penuh ketidakpastian.
"Kalau sekarang dipaksa juga kan pasarnya belum memungkinkan. Ekonomi sedang terkontraksi sehingga strategi juga harus disesuaikan," tegasnya.
Bicara ihwal potensi industri asuransi syariah, pemerintah menghitung proyeksi nilai industri halal di Indonesia pada 2025 mencapai US$249 miliar. Angka tersebut merupakan 10% dari total nilai industri halal dunia sebesar US$2.597 miliar.
Sebelumnya, Erwin Noekman, Pengamat Asuransi sekaligus Dosen Asuransi Syariah di Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA), menilai bahwa industri asuransi syariah dapat melihat potensi tersebut sebagai sebuah ceruk baru dan sumber pendapatan baru. Menurutnya, banyak pasar di sektor industri halal yang belum tergarap.
"Sebut saja dalam sebuah supply chain management, di mana pengiriman barang, baik domestik maupun internasional, bagi produk halal seperti kosmetik, sabun, atau obat-obatan belum melibatkan kapasitas yang tersedia di asuransi syariah. Padahal, industri halal ini merupakan 'piring' sendiri bagi industri asuransi, bukan mengambil atau merebut piring orang lain [konvensional]," kata Erwin.