Bisnis.com, JAKARTA – Lepas dari keluarga dan bertanggung jawab penuh atas kehidupan saat kepala dua tidaklah mudah. Masa transisi dari remaja menjadi dewasa membuat setiap orang harus berpikir keras mencari hunian dan pekerjaan yang mapan di tengah kerasnya hidup di Ibu kota. Hal itu yang dirasakan Sari Patmiati (24) yang kini menekuni pekerja lepas fotografer di kawasan Jakarta.
Pasca lulus dengan menyandang gelar sarjana (S1), perempuan kelahiran Pemalang itu mengaku sudah menjadi pekerja lepas hampir 6 bulan lamanya. Meski memperoleh pendapatan sesuai dengan pesanan yang didapat sebagai pekerja lepas, mimpi Sari untuk memiliki rumah sangatlah besar.
Semangatnya mencari rumah dibuktikan dengan mencari referensi rumah dari sanak saudara hingga teman. Menabung sebagian pendapatannya yang naik turun.
“Harganya [rumah di sekitar Jakarta] fantastis, bikin geleng-geleng kepala. Bingung untuk sampai target punya rumah itu harus gimana. Pernah tanya teman yang tinggal di daerah pun juga sama, harga tanah aja udah semahal itu,” ungkap Sari kepada Bisnis, Minggu (5/2/2023).
Nada serupa seperti yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati belum lama ini. Menurut Menkeu, generasi milenial akan semakin sulit memiliki rumah lantaran kenaikan harga rumah dan tidak sebandingnya dengan pendapatan milenial.
“Jujur, rumah itu mahal banget. Entah lah, mungkin karena belum punya penghasilan tetap jadi mikir gitu [rumah itu mahal]. Jadi, enggak tahu harus menabung berapa lama untuk punya rumah,” kata Sari.
Kondisi yang sama juga dirasakan Eca, seorang wiraswasta yang sudah berkeluarga. Sejak 2021, Eca memutuskan untuk fokus menjadi wiraswasta dan meninggalkan pekerjaannya di salah satu lembaga swasta. Setelah menikah, perempuan kelahiran 1998 itu tinggal satu atap bersama orang tua. Namun, tinggal bersama orang tua membuat dirinya dan pasangan menjadi tidak leluasa.
“Saat ini masih tinggal bareng sama keluarga [perempuan]. Tapi kepingin banget buat punya rumah, karena ngerasa enggak leluasa kalau tinggal bareng sama keluarga,” tuturnya.
Selain itu, Eca juga memikirkan faktor lain, yaitu mobilitas pasangan yang lebih sering di Jakarta. Oleh sebab itu, dia memiliki opsi untuk membeli rumah second dengan KPR.
“Untuk mendapatkan rumah di daerah Jakarta, menurut aku itu efektifnya kayak gitu [rumah second], habis itu direnovasi,” lanjutnya.
Sari dan Eca mungkin hanya segelintir dari generasi milenial yang berambisi memiliki rumah layak huni. Banyaknya faktor yang harus dihadapi milenial, terutama bagi pekerja yang bekerja di sektor informal. Apalagi, jumlah pekerja informal masih mendominasi di Indonesia.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) bertajuk Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia pada Agustus 2022, terpantau penduduk yang bekerja pada kegiatan informal adalah sebesar 59,31 persen dari total pekerja di Indonesia atau mencapai 135,30 juta. Artinya, pekerja dengan status informal berjumlah 80,24 juta orang pada Agustus 2022.
Tingginya jumlah pekerja informal menjadi perhatian serius PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN). Bank milik negara dengan fokus penyediaan rumah, terus memperluas penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) ke sektor informal.
Direktur Utama BBTN BTN Haru Koesmahargyo. - Humas BTN
Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN) Haru Koesmahargyo mengungkapkan pihaknya memiliki program bernama KPR Subsidi yang diperuntukkan bagi pekerja sektor informal
“KPR Subsidi ini merupakan peluang bagi Bank BTN untuk meningkatkan bisnis KPR, terutama untuk MBR [Masyarakat Berpenghasilan Rendah] pekerja sektor informal,” kata Haru kepada Bisnis, Jumat (3/2/2023).
Bukan hanya itu, lulusan magister dari Investment Banking Emory University, USA itu juga menyampaikan Bank BTN telah menyalurkan Program KPR Subsidi kepada sektor informal sejak awal 2023. Penyaluran itu pun sesuai dengan surat Kementerian PUPR bahwa sektor informal dapat dilayani oleh Program KPR Sejahtera FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) dan Program Pembiayaan Perumahan Tapera bagi peserta Tapera.
“Sesuai dengan peraturan pemerintah, tidak ada pembatasan program KPR Subsidi berdasarkan daerah, sehingga pekerja segmen informal semua kota di Indonesia dapat dilayani KPR Subsidi oleh Bank BTN,” ujarnya.
Konsistensi BBTN menggarap segmen informal tercermin dari jumlah KPR Subsidi yang disalurkan perusahaan. Tercatat, sejak 2019 – 2022, Bank BTN telah menyalurkan KPR Subsidi kepada segmen informal berada di rentang 7 persen – 14 persen dari total KPR Subsidi.
Selanjutnya, untuk mendapatkan KPR Subsidi Bank BTN, Haru menjelaskan bahwa kelayakan calon debitur untuk mendapatkan KPR menjadi kewajiban perusahaan untuk melakukan analisa terhadap calon debitur.
“Oleh karena itu, semua pekerja informal dapat ke Bank BTN untuk memproses pengajuan KPR subsidi dan dari data tersebut perbankan akan melakukan analisis terlebih dahulu,” jelasnya.
Komitmen Tekan Backlog
Di samping itu, Haru optimistis Bank BTN juga dapat mengatasi dan menekan backlog perumahan, sejalan dengan perluasan bisnis yang menyasar pekerja informal dan komitmen perusahaan mencapai zero backlog pada 2045 mendatang.
Backlog sendiri adalah kondisi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyat. Sedikitnya ada 12,7 juta unit kebutuhan yang harus disediakan berdasarkan data BPS pada 2021.
“Dengan Bank BTN menyasar segmen informal, maka akan membantu menekan angka backlog, di mana terdapat backlog kepemilikan untuk sektor informal sebanyak 4,3 juta kartu keluarga, sedangkan untuk backlog rumah tidak layak huni sebesar 7,41 juta kartu keluarga,” tuturnya.
Untuk menyempurnakan misinya mencapai zero backlog pada 2045, Bank BTN telah menyiapkan enam usulan. Keenam usulan tersebut di antaranya melalui skema baru KPR FLPP, skema baru KPR SSB, rent to own untuk MBR informal, KPR dengan skema staircasing shared ownership (SSO), penetapan Imbal Jasa Penjamin (IJP), serta pengalihan dana subsidi uang muka ke subsidi pembayaran pajak pembeli (BPHTB).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai sebagai bank yang berfokus di sektor pembiayaan, langkah yang dilakukan Bank BTN dengan memperluas bisnis di sektor informal memiliki prospek yang besar. Hal itu didukung dengan angka pekerja informal yang memang masih mendominasi di Indonesia.
Dia menyarankan agar KPR Subsidi untuk pekerja informal dapat dimulai dengan memberikan plafon yang rendah secara bertahap, namun dengan tetap melihat profil risiko setiap debitur dan daerah.
Program KPR ke sektor informal juga harus dibarengi dengan kualitas kredit, mengingat suku bunga acuan yang terus mengalami tren kenaikan yang menjadi salah satu tantangan dalam penyaluran KPR di sektor informal.
"Misalnya, apakah pekerja sektor informal memiliki risiko kredit macet [non-performing loan/NPL) yang lebih tinggi daripada penyaluran KPR ke pekerja formal," ujarnya.
Oleh sebab itu, sambung Bhima, program tersebut juga harus dilakukan uji coba terlebih dahulu. Dalam hal manajemen risiko, bank dinilai juga perlu mengetahui kemampuan calon debitur dalam membayar cicilan, salah satunya dengan menyertakan rekening koran.
“Selain itu, promosi untuk KPR Subsidi informal ini harus didorong dan disosialisasikan juga kepada pemerintah daerah. Jadi BTN harus melakukan kerja sama dengan pemerintah daerah untuk mensosialisasikan program KPR Subsidi di segmen informal, terutama kepada pelaku usaha di sektor UKM agar bisa ikut program KPR informal,” tandasnya.