Bisnis.com, JAKARTA - Perekonomian daerah berperan signifikan terhadap pencapaian berbagai indikator makroekonomi nasional.
Pada indikator pembentukan output, misalnya, ekonomi daerah berkontribusi hingga 83% (asumsi DKI Jakarta representatif ekonom pusat).
Mengingat peranan yang demikian besar maka stakeholders ekonomi di daerah harus berkontribusi maksimal agar sumber-sumber pertumbuhan ekonomi bergerak sehingga bisa berekspansi.
Selain pemerintah daerah, dunia usaha, kehadiran sektor keuangan mutlak adanya. Mereka menjadi stimulan pertumbuhan ekonomi lewat penyediaan dana untuk usaha-usaha produktif.
Dunia usaha makin berkembang yang pada akhirnya menciptakan lapangan kerja baru. Oleh karena itulah, kehadiran Bank Pembangunan Daerah (BPD) tidak bisa dipandang sebelah mata. BPD hadir di daerah dengan berbagai karakteristik yang berbeda-beda tetapi dengan tujuan yang sama.
AGENT OF DEVELOPMENT
Layaknya sektor keuangan lainnya, BPD diamanatkan menjalankan fungsi agent of development. Wujud dari hal tersebut diamati dari fungsi intermediasi keuangan melalui penghimpunan simpanan dari masyarakat (dana pihak ketiga/DPK) dan kemudian menyalurkannya menjadi pinjaman (kredit) produktif.
Baca Juga
Tentu, pemenuhan fungsi tersebut dipengaruhi siklus bisnis (business cycle) dan cenderung procyclical. Penyaluran kredit meningkat saat perekonomian berekspansi. Sebaliknya, kredit cenderung tertahan bahkan terkoreksi ketika ekonomi menghadapi krisis dan resesi.
Fase ekspansi kredit, misalnya, terlihat saat ekonomi Indonesia tumbuh di atas 6% pada 2010—2012. Saat itu, kredit bank umum tumbuh rata-rata 23,76% per tahun. Kredit Bank Persero naik rata-rata 20,89% per tahun; Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa naik rata-rata 26,49%; BPD naik rata-rata 22,01% per tahun; Bank Campuran dan Bank Asing masing-masing naik rata-rata 23,73% dan 21,27% per tahun.
Kontras dengan pertumbuhan kredit pada periode 2010—2012, periode 2020—2022 menunjukkan pelemahan yang sangat tajam karena pandemi Covid-19. Seluruh kelompok bank mengalami koreksi pertumbuhan kredit. Setelah beberapa periode, penyaluran kedit mulai membaik. Penyaluran kredit BPD mencatat beberapa hal menarik.
Pertama, BPD konsisten menjaga alokasi dana terbesarnya ke kredit kepada pihak ketiga. April 2023, alokasi kredit kepada pihak ketiga mencapai 63,59%.
Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan data bank umum yang hanya 59,57%. Artinya, BPD terus menjaga komitmennya untuk mendukung pemulihan ekonomi lewat penyaluran ke kredit.
Padahal, muncul kecenderungan perbankan untuk meningkatkan penempatan dana ke surat berharga untuk memanfaatkan momentum yield surat utang negara yang tinggi. April 2023, penyaluran dana BPD ke surat berharga mengambil porsi 14,57% sedangkan rata-rata bank umum mencapai 17,25%.
Pertumbuhan kredit produktif BPD memimpin dibandingkan kelompok bank lain. Januari—April 2023, pertumbuhan kredit modal kerja dan investasi rata-rata naik 16,61% (YoY) dan 20,56% (YoY).
Berbeda dengan itu, pertumbuhan kredit konsumsi hanya rata-rata 5,89% (YoY). Selama periode yang sama, pertumbuhan kredit modal kerja, investasi dan konsumsi bank umum masing-masing 8,99% (YoY); 11,78% (YoY) dan 9,23% (YoY). Di Bank Persero, pertumbuhan ketiga jenis kredit tersebut masing-masing 8,78% (YoY); 10,78% (YoY) dan 6,43%(YoY).
Leading pertumbuhan kredit BPD juga teridentifikasi pada sektor ekspor dan impor. Januari—April, pertumbuhan rata-rata kredit ekspor mencapai 48,25% (YoY) sedangkan kredit impor mencapai 9,55% (YoY).
Relatif berbeda dengan BPD, pertumbuhan kredit bank umum untuk sektor ekspor justru rata-rata turun 10,11% (YoyY) sedangkan kredit impor masih tumbuh 11,53% (YoY). Pada bagian lain, pertumbuhan kredit ekspor dan impor di Bank Persero masih tumbuh 8,78% (YoY) dan 10,78% (YoY).
Dalam kaitannya dengan UMKM, April 2023, penyaluran kredit BPD ke sektor tersebut tumbuh 10,84% (YoY); tertinggi dibandingkan Bank Persero (8,32%); Bank Swasta Nasional (2,92%); dan Kantor Cabang Dari Bank Yang Berkedudukan Di Luar Negeri (turun 10,55%).
Porsi kredit UMKM BPD terhadap total kredit UMKM perbankan sekitar 6,68%. Kontribusi penyaluran kredit BPD ke total kredit perbankan terus meningkat dari 8,27% (2019) menjadi 8,83% (April 2023). Loan to Deposit Ratio (LDR) BPD pada April 2023 mencapai 77,64%; yang naik dari 73,77% pada April 2022.
Data fasilitas kredit kepada bank lain yang belum ditarik (undisbursed loan facilities to debtors) BPD juga membaik. Merujuk pada data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hanya BPD yang mengalami penurunan undisbursed loan facilities to debtors pada April 2023, sebesar Rp634 miliar.
Kedua, peningkatan penyaluran kredit yang disertai dengan risiko terukur. Dalam hal mengelola risiko kredit, Non Performing Loans (NPL) BPD sebesar 2,36% pada April 2023 (jauh di bawah ketentuan regulator sebesar 5%).
Namun, BPD perlu fokus pada perbaikan NPL kredit modal kerja. Berita baiknya, pertumbuhan nominal NPL kredit modal kerja BPD (Januari—April) turun rata-rata 8,66% (YoY) sedangkan NPL kredit investasi turun rata-rata 16,02% (YoY). Antisipasi harus dilakukan pada peningkatan nominal NPL kredit konsumsi, yang mencapai rata-rata 6,09% (YoY).
TANTANGAN
Perubahan ekonomi global yang memengaruhi ekonomi domestik berdampak terhadap perkembangan dan kinerja sektor keuangan, termasuk BPD. Adapun beberapa tantangan BPD ke depan adalah sebagai berikut. Pertama, dampak kebijakan moneter The Fed terhadap sektor perbankan.
Kenaikan suku bunga acuan The Fed cenderung mendorong kenaikan suku bunga di negara-negara lain. Kondisi tersebut sedikit banyak memengaruhi suku bunga kredit perbankan serta potensi lonjakan NPL. Beberapa lapangan usaha sangat sensitif terhadap perubahan suku bunga khususnya kredit modal kerja dan investasi.
Kedua, upaya meningkatkan efisiensi harus terus dilakukan. Efisiensi tersebut dapat menurunkan suku bunga sehingga merangsang permintaan kredit.
Salah satu indikator efisiensi tersebut adalah biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO). Secara umum, BOPO BPD cukup kompetitif (di bawah 80) tetapi masih terdapat ruang untuk ditekan sangat terbuka. Oleh karena itu investasi pada teknologi informasi/digital tidak bisa ditawar lagi.
Ketiga, pemenuhan modal inti Rp3 triliun harus segera dilakukan. Dari 26 BPD, sebanyak 12 di antaranya belum memenuhi ketentuan modal inti. Regulator memberikan batas pemenuhan modal tersebut hingga Desember 2024. Dengan modal inti yang lebih besar maka BPD dapat beroperasi lebih lincah dengan kemampuan mengelola risiko yang lebih tinggi.