Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Hendy Pebrian Azano

Pelaksana KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Respons Jitu Meredam Guncangan

Ambruknya empat bank di Amerika Serikat baru-baru ini memantik kegelisahan besar bagi Indonesia maupun Dunia.
Respons Jitu Meredam Guncangan perbankan
Respons Jitu Meredam Guncangan perbankan

Bisnis.com, JAKARTA - Jalanan tak akan selamanya mulus. Sering kali kita harus melalui jalan yang berlubang, berbatu, maupun rusak. Untuk itu, diperlukan seat belt dalam melindungi diri saat mengendarai mobil. Begitu pula dengan kondisi perekonomian.

Ambruknya empat bank di Amerika Serikat baru-baru ini memantik kegelisahan besar bagi Indonesia maupun Dunia. Kolapsnya Sillicon Valley Bank dan sejumlah bank disinyalir merupakan scarring effect pandemi Covid-19.

Keputusan The Fed mengerek suku bunga acuan 9 kali dalam setahun terakhir berbuah petaka bagi sebagian besar perbankan. Bermaksud mengendalikan inflasi, keputusan tersebut justru memberi ‘efek domino’ penurunan nilai aset bank.

Tak cukup sampai disitu, sebuah studi dari USA Today menyiratkan adanya kerentanan pada sistem perbankan di Amerika Serikat. Masih terdapat 186 bank lain yang memiliki risiko gulung tikar. Kejadian ini bagaikan deja vu yang mengingatkan masa-masa kelam krisis moneter 1998 di Indonesia.

Bank Run 1998

Tak akan pernah lekang dari ingatan ketidakstabilan ekonomi yang menghinggapi Indonesia pada medio 1998 silam. Kekhawatiran masyarakat terhadap stabilitas sistem perbankan memicu aksi menarik simpanan secara massal dari perbankan.

Proses penarikan secara bersama-sama ini dikenal dengan istilah ‘bank run’. Bank run ditenggarai menjadi akar permasalahan perbankan mengalami kekurangan likuiditas yang signifikan, hingga memperburuk krisis keuangan yang telah terjadi.

Pemerintah Indonesia dengan dukungan dari  International Monetary Fund (IMF) mengambil berbagai langkah untuk menangani krisis tersebut, salah satunya dengan meluncurkan program restrukturisasi perbankan. Biaya pemulihan pascakrisis 1998 memberikan kerugian yang sangat besar sekaligus trauma yang mendalam.

Pengalaman adalah guru terbaik. Berkaca dari tragedi masa lalu dan tumbangnya keempat bank di Amerika Serikat, terdapat hikmah yang dapat dipetik. Sebuah pemahaman bahwa perbankan kecil memang terlihat memiliki pengaruh yang terbatas, namun tetap memiliki potensi risiko sistemik yang signifikan terhadap stabilitas sistem keuangan.

Sejatinya, bangkrutnya keempat bank di Amerika Serikat tidak akan memberikan imbas secara langsung terhadap perekonomian Indonesia. Namun, Bank Indonesia sebagai pengatur kebijakan moneter harus tetap siaga menyikapi gejolak ini.

Seat Belt Penahan Guncangan SSK

Bak ungkapan, sedia payung sebelum hujan. Salah satu respons yang dapat diambil ialah meluncurkan seat belt penahan guncangan sistem keuangan untuk meredam risiko yang muncul pada kondisi terburuk.

Seat belt yang disiapkan berupa inovasi kebijakan makroprudensial untuk memperkuat fungsi perbankan sebagai pihak ketiga yang menghimpun sekaligus menyalurkan dana, atau sering dikenal dengan fungsi intermediasi.

Seperti kita tahu, intermediasi perbankan telah berperan aktif dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional, melalui peningkatan pemberian pembiayaan pada sektor usaha maupun rumah tangga.

Mengutip data Bank Indonesia, pembiayaan yang disalurkan oleh sektor perbankan pada tahun 2022 mengalami pertumbuhan sebesar 11,35 persen year-on-year, meningkat signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 5,24 persen year-on-year.

Selama ini, Bank Indonesia dengan kebijakan makroprudensialnya telah banyak mengeluarkan bauran kebijakan untuk mendorong intermediasi yang seimbang dan berkualitas. Namun, untuk semakin memperkuat ketahanan dan akselerasi pemulihan pascapandemi covid-19, diperlukan setidaknya dua seat belt yang dapat meningkatkan pembiayaan.

Pertama, melakukan sinergi bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Keuangan dalam meningkatkan literasi keuangan masyarakat. Menukil data OJK, indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia tahun 2022 hanya berada pada 49,68 persen.

Padahal, tingginya tingkat literasi keuangan individu akan berpengaruh pada berkurangnya kecemasan dalam menyikapi ketidakstabilan ekonomi, sehingga tidak gegabah dengan melakukan penarikan massal ataupun panic buying di kala krisis.

Meningkatkan literasi keuangan masyarakat juga krusial dalam mencegah sengkarutnya sistem perbankan. Dengan pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang produk dan layanan perbankan, masyarakat dapat membuat keputusan keuangan yang lebih bijak dan menghindari risiko yang tidak perlu.

Kita dapat mengadopsi inovasi yang dilakukan Brazil dengan memperkenalkan pendidikan keuangan sebagai bagian dari kurikulum sekolah, sehingga dapat meningkatkan literasi keuangan generasi muda. Konsep-konsep keuangan seperti pengelolaan uang, perencanaan keuangan, dan investasi diajarkan sejak dini di bangku sekolah.

Kedua, pengembangan LTV/FTV Hijau. Bank Indonesia memiliki peran strategis dalam mendukung penerapan ekonomi berwawasan lingkungan (green economy) sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan.

Sambil menyelam minum air, meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus memperhatikan risiko kerusakan lingkungan.

Dalam praktiknya, Bank Indonesia memiliki peran strategis dalam mendorong pembiayaan yang berorientasi pada lingkungan (green financing) dengan mengatur rasio loan to value (LTV) atau financing to value (FTV) untuk kredit properti hijau dan pembiayaan kendaraan yang tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca.

Selanjutnya, penerapan LTV/FTV hijau dapat menjadi daya tawar yang mendorong peningkatan investasi dan pengembangan projek hijau. Bank Sentral sebagai regulator dapat berkolaborasi bersama pemerintah dengan memberikan insentif hijau dan mengatur kebijakan yang mendukung pembiayaan energi terbarukan.

Setali tiga uang. Langkah ini diharapkan dapat memfasilitasi transisi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat dicapai tanpa mencemari lingkungan. Senada dengan komitmen Indonesia dalam mencapai net zero emission pada tahun 2060.

Implikasi Makroprudensial

Meningkatnya indeks literasi keuangan masyarakat dan pengembangan LTF/FTV hijau diharapkan mampu menjadi oase di padang pasir. Fungsi intermediasi perbankan yang seimbang dan berkualitas akan berimplikasi pada perputaran uang di Indonesia menjadi lebih lancar.

Selanjutnya, dana yang terhimpun dapat digunakan oleh penyedia jasa keuangan sebagai telaga pendanaan untuk sektor usaha dan rumah tangga.

Dampaknya, seat belt inovasi kebijakan makroprudensial membantu perekonomian Indonesia melewati jalanan dengan guncangan terberat. Langkah-langkah kecil ini harus terus dikembangkan karena memberi kontribusi masif. Tujuannya satu. Stabilitas sistem keuangan terjaga dengan baik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper