Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah merevisi regulasi yang mengatur penyelenggaraan pogram Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) BPJS Ketenagakerjaan dari sebelumnya diatur di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37/2021 menjadi PP/6 Tahun 2025. Salah satu perubahan aturannya terkait syarat kepesertaan di BPJS Kesehatan.
Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch menyayangkan pemerintah tidak mengakomodir masukan dari BPJS Watch agar ketentuan peserta program JKP tidak lagi merupakan peserta yang terdaftar pada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan.
"Sehingga dengan persyaratan yang tetap menghadirkan JKN itu kan kepesertaan menjadi [tertahan] sekitar 12 sampai 14 jutaan, masih jauh di bawah kepesertaan Jaminan Hari Tua [JHT], apalagi Jaminan Kecelakaan Kerja [JKK] dan Jaminan Kematian [JKM]," kata Timboel kepada Bisnis, Senin (17/2/2025).
Timboel menilai bila mengikuti logika dari Undang-Undang Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), maka ketentuan peserta JKP cukup berorientasi pada kepesertaan JKK dan JKM, tidak perlu ketentuan berupa peserta JKN.
"Nah, kalau orientasi JKK dan JKM, kepesertaan [JKP] bisa sampai 22 juta. Sekarang 23 juta peserta JKK-JKM. Artinya lebih banyak orang yang terlindungi [program JKP]," ujarnya.
Timboel mengapresiasi revisi PP 37/2021 menjadi PP 6/2025 yang menambah manfaat program JKP menjadi 60% yang dibayarkan secara flat selama enam bulan. Namun, dia memberi catatan semestinya semangat regulasi tersebut haruslah juga berorientasi pada penambahan peserta JKP sehingga semakin banyak korban PHK terlindungi.
Baca Juga
"Faktanya hari ini kepesertaan [JKP] itu kan masih 14 jutaan, yang memang disebabkan oleh kelemahan pemerintah juga. Karena apa? Masih banyak pengusaha yang tidak mendaftarkan [pekerjanya] ke JKN, sehingga mereka tidak menjadi peserta eligible, tidak [bisa] mendapat manfaat JKP," tegas Timboel.
Selain menyoroti masih banyak pengusaha yang tidak patuh mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta JKN, Timboel juga melihat peran pemerintah yang lemah dalam hal pengawasan. Alhasil, masih ada peserta PHK yang tidak dapat menerima manfaat JKP karena tidak terdaftar sebagai peserta JKN.
Buktinya, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sepanjang Januari-September 2024 terdapat 245.039 pekerja terkena PHK. Dalam periode tersebut, klaim program JKP yang sudah dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp289,96 miliar yang diberikan untuk 40.000 lebih pekerja. BPJS Ketenagakerjaan sudah mengamini, bahwa ada gap jumlah pekerja PHK dengan penerima manfaat JKP karena tidak seluruhnya pekerja PHK eligible sebagai peserta JKP dan eligible sebagai penerima manfaat JKP.
Ihwal ketentuan peserta JKN ini, dalam PP 6/2025 pemerintah merombak sedikit ketentuannya. Dalam aturan lama, diatur bahwa peserta program JKN adalah peserta dari segmen Pekerja Penerima Upah (PPU). Sedangkan dalam beleid terbaru, ketentuan ini dihapus.
Timboel menjelaskan, itu artinya peserta JKN dari segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri dan segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI) program JKN memenuhi ketentuan untuk menjadi peserta program JKP. Namun sayangnya, upaya tersebut menurutnya masih meninggalkan sejumlah catatan karena keaktifan peserta JKN dari dua segmentasi itu.
"Sekarang kan persoalannya begini, peserta mandiri saja itu 50% sudah menunggak, sementara peserta PBI itu 19 juta sudah dinonaktifkan," tegasnya.