Bisnis.com, JAKARTA - Ranggoaini Jahja, salah seorang nasabah PT BPR Restu Artha Makmur yang mengadukan bank tersebut ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengatakan pihaknya merasa dirugikan lantaran merasa ditipu.
Ranggoaini menjelaskan kronologi masalah ini berawal dari pengajuan kredit yang dilakukan suaminya, Hendro Rahtomo, sebesar Rp1 miliar, pada Desember 2011. Kredit tersebut dicatat dalam akta pengakuan utang tertanggal 12 Desember 2011.
"Pengajuan kredit untuk modal usaha," katanya, Rabu (5/3/2014).
Pinjaman dilakukan dalam skema kredit sindikasi. Sebesar Rp800 juta berasal dari PT BPR Restu Artha Makmur, sementara sisanya Rp200 juta bersumber dari PT Restu Mandiri Makmur. Jangka waktu pinjaman ditetapkan selama 12 bulan, yang berakhir pada 12 Desember 2012.
Bunga ditetapkan sebesar Rp22,5 juta setiap bulan selama 11 bulan. Pada angsuran terakhir, nasabah harus membayar seluruh pokok utang berikut bunga pada bulan terakhir dengan total dana sebesar Rp1.022,5 juta.
Denda keterlambatan angsuran bunga dan pokok ditetapkan sebesar 0,25% per hari, dihitung dari pokok utang ditambah bunga yang belum dibayar.
Pada September 2012, Ranggoaini dan suaminya mengajukan permohonan pengalihan kredit kepada BPD Kulon Progo, karena ingin mendapatkan bunga pinjaman yang lebih rendah, serta tenor pinjaman lebih panjang.
“Setelah dilakukan pengecekan akhir, BPR Kulon Progo menolak dengan alasan kredit tersebut tidak tercatat dalam Sistem Informasi Debitur. Apa yang mau di-take over kalau tidak ada kredit? Di situlah kami merasa ada yang janggal,” katanya.
Dia kemudian meminta penjelasan kepada manajemen BPR Restu Artha Makmur, yang kemudian ditanggapi dengan pemberian print out ID history dari sistem informasi debitur Bank Indonesia atas nama nasabah Hendro Rahtomo.
Namun, setelah dilakukan pengecekan ulang di Bank Indonesia perwakilan Yogyakarta, dinyatakan bahwa nasabah tersebut tidak memiliki catatan kredit.
“Kami menduga data yang diberikan oleh BPR Restu Artha Makmur palsu,” ujarnya.