Bisnis.com, JAKARTA – Rendahnya tingkat financial inclusion di Indonesia diyakini terjadi akibat tiga hal utama, yakni masih terbatasnya pendapatan dan pendidikan, serta kendala geografis.
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) A Tony Prasetiantono mengatakan rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara di kawasan. Kondisi ini membuat masyarakat tidak memiliki dana lebih untuk disimpan di bank ataupun lembaga keuangan lainnya.
Hingga 2013, pendapatan domestik bruto (PDB) perkapita Indonesia mencapai Rp36,50 juta pertahun.
Faktor penghambat lainnya adalah tingkat pendidikan.
“Semakin tinggi pendidikan, maka masyarakat akan semakin memiliki akses terhadap layanan jasa keuangan,” ujarnya dalam diskusi bersama redaksi Bisnis, Senin (25/8/2014).
Adapun, faktor ketiga yang dinilai sebagai penghambat terbesar financial inclusion adalah kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau yang terpisah-pisah sehingga sulit bagi industri perbankan untuk menjangkau seluruh wilayah.
Menurut survei yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2013, hanya 21,84% penduduk Indonesia yang memiliki tingkat literasi keuangan yang bagus (well literate) atau memahami dengan baik mengenai produk dan lembaga jasa keuangan.
Hasil itu memiliki arti yaitu hanya sekitar 22 dari 100 orang yang disurvei memiliki pengetahuan tentang lembaga keuangan serta jasa, produk, manfaat, risiko serta hak dan kewajibannya. Survei dilakukan di 20 provinsi dengan jumlah responden 8.000 orang pada semester I/2013.
Survei itu juga menunjukkan perbankan merupakan lembaga keuangan yang paling dikenal masyarakat. Dari sekitar 100 orang, 57 di antaranya sudah memanfaatkan produk perbankan, diikuti oleh asuransi (12 orang), multifinance (7 orang), pegadaian (5 orang) dan pasar modal (1 orang).