Bisnis.com,JAKARTA— Perbankan masih perlu mengantisipasi sejumlah risiko menghadapi ketidakpastian ekonomi yang masih tinggi hingga tahun depan.
Direktur Eksekutif Mandiri Institute Destry Damayanti mengatakan dari sisi ekternal nilai tukar mata uang masih menjadi risiko terbesar perbankan. Menurutnya, wacana kenaikan Fed Fund Rate mendorong pelemahan nilai tukar emerging market, termasuk Indonesia.
Kondisi ini akan semakin menekan dengan adanya devaluasi China yang diproyeksikan masih akan terus terjadi paling tidak hingga satu tahun ke depan. Situasi tekanan global ini tentu akan berisiko pada kenaikan non performing loan (NPL) yang hingga Juni 2015 terpantau sebesar 2,6%.
“Ini satu risiko yang harus kita hadapi. Mata uang yang lain akan lemah, termasuk Indonesia,” katanya saat diskusi panel kondisi makroekonomi terhadap risiko perbankan nasional, Rabu (16/9/2015).
Selain pengaruh ekternal, Destry mengatakan kondisi perekonomian domestik juga perlu menjadi perhatian. Dia menyebut hal kedua yang perlu diantisipasi perbankan adalah terkait inflasi.
Per Agustus kemarin, inflasi tercatat sebesar 0,39% secara m-t-m atau 7,18% secara y-o-y atau 2,3% secara y-t-d, melambat dari bulan sebelumnya dan lebih rendah dari perkiraan Bank Indonesia. Akhir tahun, bank sentral memprediksi inflasi akan mencapai 4,5% secara tahunan.
“Banyak yang bilang BI harus turunkan suku bunga, tapi masalahnya bukan di investasi, tapi daya beli. Yang harus ditingkatkan adalah daya beli, baru investasi dan suku bunga,” ujarnya.