Bisnis.com, JAKARTA — Penyerapan risiko dalam negeri oleh industri reasuransi domestik belum optimal. Retensi domestik tersebut semakin banyak yang lari ke luar negeri untuk mendapatkan penutupan reasuransi asing.
Keterbatasan kapasitas reasuransi di dalam negeri membuat defisit neraca pembayaran sektor asuransi dari tahun ke tahun semakin besar. Defisit tersebut dari 2022, 2023 sampai 2024 masing-masing sebesar Rp7,95 triliun, Rp10,2 triliun dan menjadi Rp12,1 triliun.
Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Iwan Pasila mengatakan pihaknya terus mendorong reasuransi domestik melakukan pengelolaan yang baik dari sisi risiko melalui pengelolaan premi, pengelolaan kewajiban dan pengelolaan investasi yang harus dikaitkan dengan karakteristik risiko yang ditutup.
"Permodalan yang memadai menjadi enabler utama dalam meningkatkan kapasitas untuk menyerap risiko. Namun, hal ini harus dikkuti dengan expertise yang memadai dalam mengelola risikonya," kata Iwan kepada Bisnis, Kamis (3/7/2025).
Iwan menjelaskan bahwa reasuransi memang terfokus pada pooling risks dari perusahaan asuransi, dan umumnya akan fokus untuk mengelola risiko katastropik atau risiko bencana alam yang tersebar dari banyaknya sumber risiko yang ada.
Untuk itu, dalam kaitannya dengan penutupan risiko bencana yang diproteksi oleh reasuransi, menurutnya, perusahaan asuransi juga perlu memastikan kapasitas keuangan mereka.
Baca Juga
"Kondisi ini membutuhkan syarat kapasitas keuangan dan expertise yang memadai pada tingkat perusahaan asuransi, dan berbagai risiko berlebih yang tidak bisa di-cover, umumnya karena risiko loss yang berlebihan karena event catastrophic di-cover oleh reasuransi. Penerapan expertise harus didukung oleh ketersediaan data yang granular," pungkasnya.
Adapun jika melihat kondisi industri perasuransian pada periode 2024, premi bruto asuransi tercatat mencapai Rp545 triliun. Angka tersebut sangat timpang dengan premi bruto reasuransi lokal yang hanya mencapai Rp24,4 triliun.
Kondisi tersebut sebelumnya disoroti oleh perusahaan reasuransi pelat merah, PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re.
Menurut Direktur Utama Indonesia Re Benny Waworuntu, data 2024 menunjukkan bahwa cadangan permodalan industri reasuransi di Indonesia terbilang masih dangkal dibanding besarnya risiko yang harus ditutup.
"Kita [industri reasuransi domestik] cover asuransi yang menerima premi Rp545 triliun. Jadi kalau kita tidak kuat reasuransinya, ini Rp545 triliun diambil perusahaan reasuransi dalam negeri akan jadi lemah karena tidak punya backup permodalan yang kuat dari sisi permodalan reasuransinya," kata Benny.