Bisnis.com, JAKARTA – PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re mengungkap ada wacana penggabungan atau merger tiga perusahaan reasuransi milik negara. Targetnya merger tersebut akan rampung pada 2028.
Direktur Utama Indonesia Re Benny Waworuntu menjabarkan tiga perusahaan tersebut adalah Indonesia Re, PT Reasuransi Nasional Indonesia atau Nasional Re, dan PT Tugu Reasuransi Indonesia atau Tugure.
"Ada tiga, Indonesia Re yang 100% milik negara, Nasional Re cucu usaha dari IFG, dan Tugure anak perusahaan Pertamina," kata Benny dalam Rapat Dengar Pendapatan (RDP) bersama Komisi VI RPR RI, Selasa (1/7/2025).
Sebagai informasi, berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2025, seluruh saham Seri B Indonesia Re yang sebelumnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia c.q Kementerian BUMN telah dialihkan kepada PT Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) atau BKI selaku holding operasional. Saat ini, BKI merupakan perusahaan holding operasional Daya Anagata Nusantara (Danantara).
Dengan begitu, negara Indonesia saat ini memiliki saham ser A Dwiwarna yang mewakili 0,1% dari total kepemilikan saham Indonesia Re, sedangkan Danantara memiliki saham Seri B yang mewakili 99,99% dari total kepemilikan saham Indonesia Re.
Sebagai informasi, Nasional Re merupakan anak usaha PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dengan kepemilikan saham sebesar 99,99%. Askrindo adalah anggota dari Holding BUMN Asuransi, Penjaminan dan Investasi Indonesia Financial Group (IFG).
Baca Juga
Semetara itu, kepemilikan saham mayoritas Tugure saat ini sebesar 50,74% dimiliki oleh perusahaan asuransi umum miliki PT Pertamina (Persero), PT Tugu Pratama Indonesia.
"Kita rencana di 2028 kita akan bisa memiliki perusahaan reasuransi nasional yang besar dan kuat, [ini] merupakan penggabungan dari 3 perusahaan reasuransi yang dimiliki negara," tegasnya.
Setahun setelah reasuransi BUMN terintegrasi, ditargetkan pada 2029 perusahaan reasuransi hasil merger ini bisa go international menjangkau pasar reasuransi di Asia. Hal ini pada akhirnya bisa menekan ketergantungan akan reasuransi luar negeri.
Benny melihat keterbatasan kapasitas reasuransi di dalam negeri membuat defisit neraca pembayaran sektor asuransi dari tahun ke tahun semakin besar. Defisit tersebut dari 2022 sampai 2024 masing-masing sebesar Rp7,95 triliun, Rp10,2 triliun, dan menjadi Rp12,1 triliun.
Defisit tersebut dikarenakan kapasitas reasuransi dalam negeri tidak mampu mengelola retensi yang ada. Merujuk kondisi industri perasuransian sepanjang 2024, premi bruto asuransi mencapai Rp545 triliun, sementara premi bruto reasuransi lokal hanya mencapai Rp24,4 triliun.
"Kita cover asuransi yang menerima premi Rp545 triliun. Jadi, kalau kita tidak kuat reasuransinya, ini Rp545 triliun diambil perusahaan reasuransi dalam negeri akan jadi lemah karena tidak punya backup permodalan yang kuat dari sisi permodalan reasuransinya," pungkasnya.