Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia memutuskan untuk mengenakan tarif isi ulang atau top up fee uang elektronik berdasarkan persentase dari besaran nilai isi ulang. Adapun, Bank Indonesia memiliki alasan kuat terkait dengan memilih pengenaan tarif isi ulang uang elektronik di tengah semangat gerakan nasional non tunai (GNNT).
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Eny V. Panggabean mengatakan, dulu pihaknya tidak mengenakan tarif setiap transaksi maupun isi ulang uang elektronik untuk mendorong masyarakat memilih bertransaksi menggunakan uang elektronik.
“Namun, setelah dilihat ternyata dampaknya tidak terlalu besar, salah satu penyebabnya harga pembelian uang elektronik baru yang cukup mahal,” ujarnya pada Selasa (20/6/2017).
Dia melanjutkan, untuk itu BI ingin menyeimbangkan biaya pembelian uang elektronik baru dengan tarif isi ulang uang elektronik.
“Jadi, nantinya memang ada pengenaan tarif isi ulang uang elektronik, tetapi di sisi lain diharapkan harga jual untuk uang elektronik baru bisa lebih terjangkau masyarakat luas,” lanjutnya.
Eny memaparkan rencana pengenaan tarif isi ulang uang elektronik pun nantinya akan dihitung dari persentase besaran nilai top up yang dilakukan masyarakat.
“Besaran persentase untuk tarif isi ulang uang elektronik pastinya rendah dan tidak memberatkan. Angka detailnya masih menunggu hasil kajian dan keputusan dewan gubernur BI,” paparnya.
Adapun, komisi isi ulang itu juga diharapkan bisa membuat bank berani ekspansi titik top up uang elektronik lebih luas lagi ke depannya. Jadi, masyarakat semakin mudah dan nyaman dalam menggunakan uang elektronik.