Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

LPS Ajukan Premi Restrukturisasi Perbankan 0,005% dari Simpanan

Lembaga Penjamin Simpanan mengajukan premi restrukturisasi perbankan sebesar 0,005% dari total dana pihak ketiga perbankan. Namun, nilai premi itu masih dalam proses pengkajian lebih lanjut dengan beberapa pihak terkait, termasuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
Stiker Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tertempel di pintu salah satu bank di Jakarta./JIBI-Abdullah Azzam
Stiker Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tertempel di pintu salah satu bank di Jakarta./JIBI-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Penjamin Simpanan mengajukan premi restrukturisasi perbankan sebesar 0,005% dari total dana pihak ketiga perbankan. Namun, nilai premi itu masih dalam proses pengkajian lebih lanjut dengan beberapa pihak terkait, termasuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan.

Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Destry Damayanti mengatakan, dari pihaknya mengajukan iuran premi restrukturisasi perbankan (PRP) 0,005% dari total dana pihak keitga (DPK) dengan target dana hingga mencapai 2% sampai 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

“Untuk target dana PRP kami ajukan sampai 2% sampai 3% PDB Indonesia sesuai dengan patokan IMF [International Monetary Fund]. Dengan target itu, setidaknya kami punya patokan walaupun dalam kenyataannya dampak krisis itu bisa mengeluarkan biaya dengan persentase dari PDB yang lebih besar,” ujarnya pada Selasa (11/7).

Destry menuturkan, dengan premi 0,005%, berarti dalam satu periode perbankan hanya akan mengumpulkan dana PRP sekitar Rp250 miliar dengan asumsi DPK perbankan sekitar Rp5.000 triliun.

“Jumlah iuran itu sangat kecil dengan target 2% sampai 3% PDB. Kalau PDB Indonesia sekitar Rp12.000 triliun sekitar Rp240 triliun,” tuturnya.

Di balik dengan berbagai keberatan industri perbankan terkait dengan iuran PRP itu, Destry mengatakan, premi itu harus dilakukan karena sesuai amanat undang-undang.

Dia pun mengaku sedang memikirikan berbagai solusi agar industri perbankan tidak terberatkan dengan adanya PRP tersebut. Salah satu solusinya antara lain, pemberian grace period kepada bank untuk bisa mempersiapkan diri untuk tidak terbebani dengan iuran PRP.

“Kalau dilihat secara industri memang kondisi perbankan masih oke, tetapi dilihat secara masing-masing bank di Indonesia sangat segmentif sekali. Jadi, ada yang kondisinya cukup berat, ada yang over likuiditas, ada yang kekurangan likuiditas,” ujarnya.

Destry menyebutkan, untuk itu pihaknya terus berkomunikasi dengan komite stabilitas sistem keuangan (KSSK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Intinya, gap antara bank umum kegiatan usaha (BUKU) I dan II dengan bank BUKU III dan IV harus dipersempit.

“Jadi, ketika premi PRP sudah ditentukan, nanti kami akan analisis berapa lama perbankan membutuhkan masa penyesuaian dengan adanya grace period tersebut,” ujarnya.

Dia pun menyebutkan, untuk skema penghitungan iuran pun masih dalam kajian. “Masih dalam kajian apakah flat untuk semua bank atau didasarkan dengan indikator sizenya,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper