Bisnis.com, JAKARTA – Mencuatnya kasus tuntutan konsumen asuransi terhadap salah satu penyedia jasa akibat penolakan klaim dinilai menjadi momentum yang tepat bagi regulator untuk mengkaji kembali bentuk perjanjian standar di dalam polis.
Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), mengatakan pemerintah dan regulator, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan, perlu melakukan langkah tersebut agar konsumen sungguh terlindungi sejak pra transaksi.
Dia mengatakan pengkajian itu tentunya membutuhkan waktu yang tidak singkat dengan melibatkan asosiasi dan pelaku asuransi. Dengan begitu, jelasnya, baik masyarakat sebagai konsumen maupun perusahaan asuransi tidak dirugikan.
“Kasus ini, mumpung aktual, bisa menjadi entry point bagi OJK untuk melakukan kajian-kajian mendalam tentang perjanjian standar di dalam asuransi, kemudian melakukan review,” ujarnya, Sabtu (30/9/2017).
Dalam pengkajian itu, sambung Timbul, perjanjian standar perlu juga disesuaikan dengan sejumlah aturan lain, termasuk Undang-Undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Apalagi, jelasnya, regulasi itu telah menetapkan sejumlah klausula baku yang tidak boleh ada dalam perjanjian antara penyedia layanan jasa dengan konsumen.
“Kalau masih mencantumkan klausula baku yang dilarang, manajemen bisa dipidana,” ujarnya.
Pengamat asuransi sekaligus Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko & Asuransi (STIMRA) Hotbonar Sinaga mengatakan di Indonesia saat ini sejumlah lini bisnis asuransi telah memiliki standar polis, antara lain polis standar asuransi kebakaran Indonesia dan polis standar asuransi kendaraan bermotor.
Namun, jelasnya, itu semua disediakan oleh asosiasi. “Itu sebenarnya untuk mempermudah pengawasan dari asosiasi. Jadi, sebenarnya OJK tidak turut campur tangan dalam hal itu.”