Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan alias BI Rate ke level 5,50%, demi mendorong pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar rupiah yang stabil.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan bahwa berdasarkan Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode 20—21 Mei 2025, bank sentral menurunkan suku bunga acuan menjadi 5,50%. Keputusan tersebut menjadi penurunan pertama suku bunga pada tahun ini.
Perry mengatakan keputusan suku bunga ini konsisten dengan perkiraan inflasi 2025 dan 2026 yang rendah, serta tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1%.
"[Keputusan itu merupakan] upaya mempertahankan stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya, serta untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers RDG BI, Rabu (21/5/2025).
Perry menyampaikan keputusan pemangkasan suku bunga acuan atau BI Rate mempertimbangkan tiga hal.
Pertama, inflasi domestik yang cukup rendah. Per April 2025, inflasi umum Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat sebesar 1,17% dan diperkirakan akan mencapai 2,6% pada akhir tahun. Masih dalam sasaran 2,5±1%.
Baca Juga
Kedua, realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I/2025 yang sebesar 4,87% secara tahunan atau year on year (YoY) nyatanya lebih rendah dari kuartal IV/2024 yang sebesar 5,02%.
Ketiga, kinerja rupiah terus menunjukkan penguatan dalam satu bulan terakhir ke bawah level Rp16.500-an per dolar AS.
“Oleh karena itu, Bank Indonesia juga turut mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tentu saja pertimbangan inflasi yang rendah dan nilai tukar rupiah yang stabil dan cenderung menguat,” ujarnya.
BI Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Bank Indonesia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari rentang 4,7%—5,5% menjadi 4,6%—5,4% pada akhir 2025 mendatang, meskipun ketidakpastian global akibat tarif resiprokal mulai mereda.
Revisi ke bawah ekonomi Indonesia tersebut juga dilakukan saat Perry merevisi ke atas ekonomi global dari 2,9% menjadi 3%.
“BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 berada dalam kisaran 4,6%—5,4% lebih rendah dari sebelumnya 4,7%—5,5%,” ujar Perry.
Perry menyampaikan bahwa saat ini ekonomi Indonesia perlu terus diperkuat untuk memitigasi dampak ketidakpastian global akibat kebijakan tarif resiprokal. Terlebih, realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I/2025 lebih rendah dari harapan pemerintah.
Untuk itu, berbagai respon perlu makin diperkuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi untuk mengutakan permintaan domestik serta optimalisasi ekspor.