Bisnis.com, JAKARTA — Branchless banking dengan layanan digital atau digital banking mulai menjadi primadona di negara-negara maju Asia. Potensi yang tak kalah besarnya juga mulai tumbuh di negara-negara berkembang Asia, termasuk Indonesia.
Berdasarkan riset yang dirilis oleh McKinsey & Company bertajuk Asia’s Digital Banking race: Giving Customers what they want pada April 2018, terjadi pergeseran yang signifikan dalam penggunaan kanal digital untuk transaksi sehari-hari di Asia.
Kantor cabang bank di Asia, kini hanya menangani sekitar 12% hingga 21% dari layanan transaksi nasabah setiap bulan. Nasabah mulai beralih ke layanan digital untuk keperluan transaksi sehari-hari seperti pengecekan tabungan, transfer antar rekening, dan pembayaran tagihan.
Berdasarkan riset tersebut, sebanyak 55%-80% nasabah di Asia menyatakan akan mempertimbangkan pilihan membuka rekening digital banking. Mereka yang menyatakan tertarik, juga mengatakan bersedia memindahkan 35% hingga 40% dari total tabungannya ke rekening digital miliknya.
Para pengguna aktif digital banking juga terbukti lebih aktif membeli barang. Dalam 12 bulan penggunanya di Asia rata-rata membeli 1,6 produk dalam 12 bulan, lebih tinggi dari mereka yang tidak aktif secara digital yang hanya membli 0,5 produk.
Dengan potensi yang begitu besar, beberapa bank mulai membuat layanan digital banking di Asia. Bank asal Singapura DBS misalnya, merilis produk Digibank di India pada 2016. Layanan mobile only digital banking tersebut juga masuk ke Tanah Air sejak 2017.
Selain itu, PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk. juga merilis layanan Jenius di Indonesia. Layanan first-to-market digital bank tersebut dirilis pada 2016. Dana pihak ketiga (DPK) yang terhimpun melalui Jenius saat ini diperkirakan mencapai Rp2,4 triliun.
Sebelumnya, perseroan menyatakan telah menargetkan jumlah nasabah dapat mencapai 1 juta orang pada akhir tahun ini. Digital Banking Value Proposition & Product Head BTPN Irwan Sutjipto Tisnabudi mengatakan, pihaknya menargetkan total DPK dari Jenius dapat mencapai Rp4 triliun pada akhir tahun depan.
“Kalau dibantu edukasi rasanya bisa lebih. Total sekarang sekitar 600.000 nasabah dan angka ini terus berkembang dengan rata-rata dana per konsumen Rp4 juta,” katanya beberapa waktu lalu.
Di Korea Selatan, Kakaobank mencatatkan kinerja yang jauh lebih hebat lagi. Bank digital milik perusahaan Kakao atau Daum Communications berhasil menghimpun DPK sebesar US$3,6 miliar dan menyalurkan kredit sebesar US$3 miliar dalam 100 hari pertamanya beroperasi.
Saat ini, Kakaobank menjadi salah satu layanan perbankan digital dengan pertumbuhan paling sigfinikan dengan pengguna sebanyak 5,5 juta orang. Adapun total DPK dan penyaluran kreditnya, masing-masing telah tercatat sebesar US$6 miliar dan US$5 miliar per Februari 2018.
Melihat tingginya potensi tersebut, Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Santoso mengatakan, digital banking adalah perjalanan baru bagi perbankan di Indonesia. Beralih ke sistem digital adalah keharusan yang harus ditempuh bank agar tidak ditinggalkan nasabahnya.
“Tahap awal yang biasa dilakukan oleh bank adalah dengan mengubah proses layanannya dengan menuju digital. Proses akan mengubah interaksi bank dengan customer dalam dunia maya dan transaksi dengan mesin. Layanan dengan manusia akan sangat berkurang baik transaksi cash maupun non cash,” katanya kepada Bisnis.
Menurutnya, digitalisasi bukan hanya soalan memfasilitasi kebutuhan nasabah dengan mesin, tetapi juga dengan menuntut nasabah untuk bertransaksi dengan cepat, frictionless, dan memberikan kepuasan (customer experience).
“Untuk itu bank harus mengubah proses back end dan engine IT-nya. Perubahan itu tidak hanya berdampak pada layanan nasabah tapi juga efisiensi bagi bank. Memang ada risiko kebutuhan SDM, tetapi kita tetap butuh SDM yang memiliki kemampuan IT tinggi dan mengerti tentang behavior customer,” jelasnya.
PERSAINGAN BARU
Meskipun Santoso bersepakat bahwa era digital membawa arah baru bagi masa depan industri perbankan di Indonesia, dia menilai era ini juga membawa perubahan dan dampak yang lebih besar bagi ekonomi Indonesia.
Bank, menurutnya, tidak hanya bersaing dengan sesama bank lagi, tetapi juga dengan para perusahaan teknologi finansial. Selain itu, persaingan juga menjadi lebih luas dengan masuknya berbagai perusahaan e-commerce asing ke Indonesia yang mengubah peta persaingan perdagangan.
Perusahaan e-commerce, ujarnya, dapat menerima fee dari penjualan barang, fee dari suplier, dan aktivitas lainnya yang bersifat non financing. Namun, bank di sisi lain tidak bisa melakukan hal yang sama, karena tidak diperbolehkan mendapatkan income dari bisnis non financing.
“Hal inilah sering kita kritisi, bahwa mereka lebih diberikan kebebasan dibandingkan dengan bank. Sementara itu, soal risiko, khususnya kepada customer atau customer protection harus sama,” katanya.
Selain itu, dia juga mengkritisi kehadiran perusahaan teknologi besar dari China di Indonesia. Dengan kemampuan finansial mereka yang tinggi, mereka dapat dengan mudah membeli perusahaan tekfin yang ada di Tanah Air.
Mereka, ujarnya, kemudian dapat mengembangkan bisnis dan platform mereka di Indonesia. Dia khawatir perusahaan dari China akan menguasai baik platform teknologi maupun sektor perdagangan. Pada akhirnya, bukan hanya bank tetapi produsen di Tanah Air yang akan terdampak.
“Dengan dibukanya platform e-commerce mereka di Indonesia, praktis mereka menguasai data kebiasaan masyarakat indonesia, bukan secara umum lagi tapi secara individu. Dengan demikian mereka bisa mulai melakukan cross selling product alternatif yang diproduksi di negara asal mereka dengan harga super murah untuk melawan produk-produk buatan Indonesia,” jelasnya.
Menurutnya, digitalisasi perbankan kini bukan lagi hanya persaingan antara bank untuk merebut hati nasabah, melainkan sudah menjadi kompetisi horisontal antar pebisnis. Pihak regulator diharapkan dapat mengambil sikap yang tepat.
“Regulasi harus menyikapi agak pemain domestik khususnya perbankan diberikan ruang yang memadai untuk bisa berkembang dalam era digital. Bank sebagai kekuatan ekonomi bangsa jika sampai digoyang dan digantikan dengan perusahaan-perusahaan asing yang hanya berkepentingan untuk menguasai pasar akan berbahaya.”