Bisnis.com, JAKARTA — PT Bank Tabungan Negara (Persero) mengharapkan regulator dapat memberikan insentif baru dalam pengelolaan likuiditas perbankan melalui pelonggaran aturan makroprudensial.
Menurut Direktur Keuangan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Iman Nugroho Soeko, Bank Indonesia dapat melonggarkan aturan terkait batas atas kredit terhadap dana pihak ketiga ataupun aturan Giro Wajib Minimum (GWM).
“Kalau ukuran LDR [Loan to Deposit Ratio] menurut hemat saya itu sudah masuk makroprudensial yang menjadi ranahnya BI, seperti juga GWM, kalau mau melonggarkan likuiditas ya paling pas GWM di Bank Indonesia bisa diturunkan misal ke 4%. Ini akan sangat menolong perbankan,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (29/1/2018).
Berdasarkan aturan yang berlaku saat ini, dari total GWM Rupiah bank umum konvensional sebesar 6,5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK), porsi GWM Rata-rata Rupiah untuk bank umum konvensional adalah 2% dari DPK.
Adapun, dari total GWM Valas bank umum konvensional adalah 8% dari DPK, porsi GWM Rata-rata valas mulai diberlakukan sebesar 2% dari DPK. Sementara itu, bagi bank umum syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS), dari total GWM Rupiah sebesar 5% dari DPK, porsi GWM Rata-rata Rupiah mulai diberlakukan sebesar 2% dari DPK.
Di sisi lain, menurutnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga perlu meninjau kembali sejumlah aturan mikroprudensial seperti Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR), Tikat Kesehatan Bank (TKB), dan Penerapan Basel III dan IV.
Likuiditas perbankan memang cenderung mengetat sepanjang tahun ini, tecermin dari tingkat LDR perbankan yang secara industri sudah mencapai 92,59%. Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) III seperti BTN, tercatat memiliki tingkat LDR tertinggi, mencapai 101,56%.
Ketatnya likuiditas perbankan membuat persaingan bunga terus memanas sepanjang 2018. Per November 2018, suku bunga khusus atau special rate perbankan secara industri telah mencapai 7,44%. Adapun, masing-masing BUKU I, II, III, dan IV, mencatatkan rata-rata suku bunga khusus sebesar 7,31%, 7,36%, 7,73%, dan 7,29%.
Iman menyatakan, dalam menyikapi persaingan suku bunga tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak perlu memberlakukan aturan capping suku bunga. Menurutnya, perbankan sudah memiliki acuan tersendiri melalui BI 7DRR 12 bulan ditambah 75 bps.
“Walau OJK tidak lagi berlakukan capping, tapi guidance terdahulu yaitu max BI rate 12 bulan plus 75 bps, menurut hemat saya tetap bisa dijadikan pegangan untk self guidance dari Himbara [Himpunan Bank Milik Negara] atau Perbanas [Perhimpunan Banl-bank Nasional],” jelasnya.
Namun demikian, dia tidak menampik bahwa pada praktiknya banyak bank yang menawarkan suku bunga di atas batas tersebut. Menurutnya, Himbara maupun Perbanas perlu turun tangan agar bank-bank anggota dapat mengikuti acuan tersebut.
“Mungkin perlu keterlibatan Himbara atau Perbanas untuk buat self regulation semacam ini agar lebih meningkatkan komitmen anggota,” ujarnya.